Sufi yang Mengguncang Dunia (2)
Bagi siapa saja yang dapat melihat atau merasa, tidak mungkin meragukan integritas pribadinya atau anggapan orang-orang yang disembunyikan oleh orang-orang seperti Yazdi bahwa ia telah meninggalkan diri manusia yang normal (atau abnormal) dan telah mencapai tempat tinggal yang mutlak. Kemutlakan itu dinyatakan dalam udara, dinyatakan dalam gerak tubuhnya, dinyatakan dalam gerak tangannya, dinyatakan dalam nyala kepribadiannya, dinyatakan dalam ketenangan kesadarannya. Tidak mengherankan apabila ia dicintai jutaan orang Iran dan kaum Muslim sedunia. Bagi pengamat ini, paling tidak ia telah menunjukkan bukti empiris tentang adanya tingkat kesadaran yang tinggi.
Mula-mula ia tidak bicara; pemimpin agama yang lain yang berbicara kepada hadirin. Khomeini duduk dalam kesunyian yang tak bernoda dan dalam keserasian yang sempurna. Ia tak bergerak, ia terpisah, ia berada dalam lautan ketenangan. Akan tetapi, ada suatu yang bergerak murni, ada sesuatu yang terlibat secara dinamis, ada sesuatu yang setiap saat siap melancarkan peperangan. Ia mengecilkan semua orang yang pernah saya temui di Iran. Ia menguasai panggung itu walaupun ada mullah lain yang tengah bicara. Semua mata terpaku pada Khomeini dan ia tidak menunjukkan sedikit pun kepongahan atau sadar diri atau aku berani mengatakan tidak sedikit pun kelihatan melamun atau berpikir ke sana kemari. Seluruh wajahnya secara terus menerus dan secara spontan diarahkan kepada konsentrasi yang secara estetik dan spiritual serasi dengan pemandangan yang kami saksikan. Di sinilah ratusan pejuang dan kaum Muslimin meneriakkan kebesarannya, menyatakan kecintaan, dan penghormatan kepadanya. Walaupun ia menerima semuanya, ia tenang dalam dirinya, ia tidak bergerak. Ia tetap besar dalam keadaan batin yang tidak tergoncangkan; keadaan yang sebab musababnya berada di luar jangkauan pengetahuanku.
Mungkin pembaca mengernyit mendengar gambaranku yang berlebihan tentang orang ini. Tetapi ia harus sadar bahwa walaupun aku sudah mendengar apa pun tentang dia, walau pun banyak bukti yang kontradiktif telah saya terima sebelumnya, kesan langsung dan sebenarnya tentang pribadi Imam Khomeini tidak lagi dapat dilukiskan dengan ide atau konsep. Pengalaman itu terlalu perkasa untuk dilukiskan seperti itu. Saya melakukan transendensi dari pengalaman biasa yang menentukan sensasi, pikiran, dan perasaan yang berpusat pada kesadaran diriku. Khomeini begitu perkasa. Khomeini begitu kuat dan tak terkalahkan. Waktu itu, aku pun melihat semua dorongan revolusi, semua sejarah penggulingan Syah, irama kesyahidan, dan masa lalu peradaban Islam yang membayangi Barat untuk waktu tertentu. Semua itu terkandung dalam kehadiran orang ini.
Sungguh, aku berani mengatakan bahwa ledakan ekstase dan kekuatan yang menyambut Imam bukan sekadar refleks karena pancingan tertentu tentang Imam. Ia adalah senandung puji yang alamiah dan bahagia; senandung penghormatan yang lahir karena keagungan dan kharisma dahsyat dari orang ini. Ketika pintu dibuka untuknya, saya mengalami badai gelombang energi yang datang dari pintu itu. Dalam jubah cokelat, serban hitam, dan janggut putih, ia menggerakkan semua molekul dalam ruangan itu dan mencengkeram semua perhatian sehingga lenyaplah apa pun selain dia. Dia adalah pancaran cahaya yang menembus jauh ke dalam kesadaran semua orang di ruangan itu. Dia menghancurkan semua citra yang ditampilkan untuk menyainginya. Kehadirannya begitu mencekam sehingga aku harus menyusun kembali sensasiku, jauh di luar konsep-konsepku, jauh di luar kebiasaanku mengolah pengalaman.
Dia adalah sumber kebangkitan Islam. Dia adalah sumber revolusi. Dia adalah sumber segala kekuatan yang ditampilkan oleh revolusi ini dan oleh Islam ke hadapan dunia. Aku yakin tanpa dia, monarki masih bercokol dan Islam secara efektif akan disingkirkan sebagai faktor dalam nasib politik Timur Tengah. Siapa saja yang memiliki kesadaran atau perasaan untuk mengetahui apa yang diwakili Imam Khomeini (yaitu kehidupan utuh yang memihak Islam) tidak bisa tidak akan dipenuhi dengan semangat Islam, keyakinan syahid yang diberkahi, dan tekad untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Ia mengangkat. Ia mentransformasikan. Khomeini adalah pusat ledakan Islam. Khomeini adalah mata air kekuatan ruhaniah yang mengalir ke dalam hati kaum Muslimin di Timur Tengah-atau paling tidak pada semua kaum Muslim yang secara naluriah dekat dengan jantung Islam.
Ia tidak tertawa. Wajahnya telah terpatri pada keteguhan niatnya. Tuhan telah meminta segalanya dari dia, dan dia pun telah memberikan hidupnya untuk mengabdi kepada Tuhan. Tidak ada lagi yang patut ditertawakan, yang patut dijadikan hiburan, atau yang patut dilamunkan. Jalan hidupnya telah ditentukan dan ia siap menerima akibat dari jalan hidup yang telah ditentukannya itu: “Untuk menegakkan Islam yang berasal dari Tuhan.” Ia hidup untuk Islam. Ia telah menjadi instrumen Islam. Ia tidak mempunyai tujuan apa pun kecuali untuk menjalankan Islam. Individualitasnya telah tenggelam dalam universalitas tujuannya yang luhur.
Aku harus berkata lebih jauh lagi: Imam Khomeini menembus hati dan otakku dengan arus emosi yang hanya dapat aku gambarkan sebagai positivitas ekstrem, sesuatu yang lebih baik aku sebut “cinta”. Betapa pun tegasnya dalam menjalankan ajaran Islam, betapa pun tak tergoyahkan sikapnya, betapa pun kebalnya terhadap perasaan individu, ia dipenuhi cinta yang membersihkan hatiku, memenuhinya dengan kebahagiaan yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Ketika aku duduk di sana, pandanganku terpusat kepada wajahnya (dan sinar yang mengitarinya) dan pada saat yang sama dipenuhi dengan energi yang dapat aku hubungkan dengan sejenis kreativitas dan daya yang paling hayati. Dia adalah generator energi dan perasaan yang memenuhi hati dan membersihkan, katakanlah ruh.
Aku ingin mempertahankan sikap netral, sikap tidak terlibat yang kritis dalam menghadapi Imam. Akan tetapi, di sini aku kehilangan batas-batas individualitasku. Di sini aku menemukan perasaan dan sensasi halus yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku dipenuhi oleh manusia Muslim yang suci, manusia yang dianggap ̶ barangkali oleh seluruh dunia ̶ paling tidak sanggup mengisi wartawan Barat dengan rasa bahagia yang Ilahiyah, kejernihan kesadaran yang Ilahiyah. Tetapi, memang inilah pengalamanku. Imam Khomeini telah aku alami sebagai satu-satunya realitas yang memperluas kesadaranku, memurnikan hatiku, menjernihkan otakku. Ketika ia pergi meninggalkan berkat yang tidak pernah berkurang, berkat yang masih terus berada dalam diriku, walaupun tertutup oleh kesibukan hari ini.”
Saya akan menghentikan kutipan dari Carlsen sampai di sini. Pertemuannya dengan Imam selama 30 menit telah memenuhinya dengan cinta dan penghargaan terhadap sosok yang mengguncangkan dunia ini. Setelah Imam pergi, setelah semua pengunjung meninggalkan ruangan, Carlsen masih terpaku di depan kursi Imam. Seperti patung, orang melihat Carlsen sedang tenggelam dalam lautan kesadaran. Matanya masih menatap kursi Imam, dan butir-butir air mata bergulir pada pipinya. Ia baru sadar lagi ketika beberapa orang Pengawal Revolusi mengajaknya bicara. Mereka menawarkan pertemuan khusus dengan Imam.
Singkat cerita, ia bermaksud menemui Imam dalam sebuah ruang khusus bersama para mullah yang lain. Akan tetapi, ternyata Imam harus menemui rombongan baru yang ingin menemuinya lagi di ruangan. Di sana, dalam sebuah lorong di antara kedua ruangan itu, Imam Khomeini menjulurkan tangannya. Ia tidak dapat berbicara. Ia membisu. Ia merasakan getaran hebat. “He sent the thunderbolts of his immorable power into my eyes,” kata Carlsen. Muhammad, penerjemah Carlsen, mencium tangan Imam dengan khidmat. Kepada Carlsen, Muhammad memperlihatkan tangannya dengan bangga. Ia berjanji bahwa sejak saat itu “tangannya tidak akan pernah lagi menyentuh apa pun yang haram dan kotor.”
Sekarang kita beralih pada pengalaman Sayyidah Fathimah Thabathabai, menantu Imam. Di sini akan kita tuturkan pengalamannya ketika ia pertama kali berjumpa dengan Imam di tempat pengasingannya di Irak.
“Tiga tahun setelah pernikahanku, aku dan suamiku pergi ke Irak. Kami mencapai rumah Imam pada tengah malam. Imam sendiri yang membukakan pintu bagi kami. Ia duduk, berbincang dengan kami sebentar, lalu meninggalkan kami untuk menunaikan shalat malam. Bagiku, hal ini sangat aneh, karena bukankah shalat malam itu sunnat saja dan ia dapat melakukannya nanti. Walaupun ia sangat mencintai suamiku, walaupun ia tidak pernah berjumpa dengannya selama bertahun-tahun, ia meninggalkan kami dan memulai shalatnya. Ini semua karena kecintaannya kepada shalat.
Di antara akhlak Imam yang juga segera saya kenal adalah sikap istiqamahnya. Semua tugas dilakukannya dengan penuh disiplin. Setelah beberapa hari, saya menyadari bahwa untuk setiap jam, Imam mempunyai acara khusus. Ketika saya bertanya kepada ibu mertuaku tentang acara Imam, ia berkata bahwa jika ia menjelaskan satu hari acara Imam, saya dapat menggandakannya dengan 360 hari, dan saya akan tahu acara Imam setiap hari.
Imam selalu menasihatiku untuk merencanakan acaraku dan melakukan pekerjaanku dengan penuh disiplin. Saya tidak tahu perkara-perkara agama yang kecil, tetapi dengan memerhatikan perilaku Imam saya memelajarinya. Misalnya, pada saat musim panas, ketika udara sangat panas dan tidak nyaman, ketika Imam akan mandi, ia selalu memakai peci kecil. Saya baru tahu bahwa hukumnya makruh jika kita pergi ke kamar mandi tanpa peci. Kadang-kadang Imam harus menaiki 20 sampai 30 anak tangga, hanya untuk mengambil pecinya. Untuk wudhu, beliau selalu menghadap kiblat. Apabila tidak menghadap kiblat, ia merasakannya sebagai masalah. Ia pun melarang kami tertawa keras, karena itu makruh hukumnya.”
Menurut Sayyidah Fatimah, Imam sangat menghormati istrinya. Ia tidak pernah menyuruh istrinya melakukan sesuatu. Misalnya, beliau tidak pernah menyuruh istrinya mengambilkan segelas air baginya. Ketika beliau ingin mengingatkan istrinya untuk meminum obat, beliau tidak menyuruh sang istri minum obat. Imam hanya menyediakan segelas air bagi dia.
Terakhir, saya ingin menceritakan lagi apa yang diceritakan oleh putra Imam, Sayyid Ahmad Khomeini. Imam menjadikan Al-Quran sebagai wirid sehari-harinya. Menjelang akhir hayat, Imam membaca Al-Quran delapan kali setiap hari: sebelum Subuh, sesudah Subuh, sebelum Zuhur, sesudah Zuhur, sesudah Ashar, sesudah Maghrib, sesudah Isya, dan menjelang tidur. Setiap kali membaca, beliau menyelesaikan seperempat hizb. Sehingga dengan disiplin seperti itu, beliau mengkhatamkan Al-Quran sekali sebulan.
Pada suatu hari, kata Sayyid Khomeini, Imam bolak-balik di kamarnya seperti sedang dilanda kerisauan hati. Ketika Ahmad bertanya tentang apa yang beliau risaukan, Imam berkata, “Seandainya aku masih muda, demi kecintaanku kepada Rasulullah Saw., aku akan pergi mencari Salman Rushdie dan akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.”
Inilah yang dirisaukan Imam pada hari-hari terakhir hayatnya. Ia telah menetapkan hukuman mati bagi Salman Rushdie, tetapi ia merasa kalau ia sendirilah yang layak membunuh orang yang menghina Rasulullah Saw. tersebut. JR wa mā taufīqī illā billāh, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unīb
Allâhumma shalli ‘alâ Sayyiidina Muhammad wa Âli Sayyiidina Muhammad wa ajjil farajahum warzuqna fiddunya ziyâratahum wa fil âkhirati syafâ’atahum