Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Makna dan Filosofi Idul Adha: Pengorbanan sebagai Jalan Menuju Ketuhanan dan Kemanusiaan (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

 

Secara sosial, kurban menjadi sarana berbagi nikmat Allah, terutama kepada fakir miskin. Daging kurban dibagi kepada keluarga, tetangga, dan yang membutuhkan—sepertiga untuk keluarga, sepertiga untuk kerabat, dan sepertiga untuk kaum dhuafa. Pola ini mencerminkan prinsip keadilan dan solidaritas Islam.

Idul Adha menjadi momen kebersamaan dan pemerataan rezeki, di mana masyarakat bergotong royong menyembelih dan mendistribusikan daging. Aktivitas ini memperkuat ukhuwah, menumbuhkan empati, dan mempererat kepedulian sosial.

Secara ekonomi, ibadah kurban mendorong pemerataan dan semangat sharing economy. Umat Islam yang mampu dianjurkan membeli hewan kurban terbaik, sehingga dana mengalir ke peternak, pedagang, dan sektor ekonomi terkait—khususnya di pedesaan menjelang Idul Adha. Daging kurban kemudian dibagikan, terutama kepada yang kurang mampu, menciptakan aliran harta langsung dari yang kaya ke yang membutuhkan.

Bagi pekurban, ini menjadi latihan kedermawanan dan kepedulian sosial. Secara global, jutaan hewan disembelih setiap Idul Adha, meningkatkan permintaan ternak dan membantu kesejahteraan peternak. Meski begitu, Islam menekankan agar kurban dilakukan tanpa berlebihan, dengan memperhatikan kelestarian ternak dan kebersihan lingkungan.

Hikmah kurban tercermin dalam tiga ranah: spiritual (menumbuhkan iman dan takwa lewat keikhlasan), sosial (mempererat persaudaraan dan berbagi dengan yang membutuhkan), serta ekonomi (mendistribusikan harta dan menggerakkan ekonomi masyarakat). Kurban mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan dengan sesama (hablumminannas). Ketika kurban dilakukan dengan ikhlas, seorang Muslim mendekat kepada Tuhan sekaligus menebar manfaat, menjadikan Idul Adha sebagai wujud nyata Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Ibadah haji yang berpuncak pada Idul Adha memiliki peran penting dalam menyatukan umat Islam dan mentransformasi pribadi Muslim. Secara sosiologis, haji adalah pertemuan akbar lintas bangsa, warna kulit, dan status sosial. Seluruh jamaah mengenakan pakaian ihram yang sama, mencerminkan kesetaraan dan persaudaraan umat (ukhuwwah islamiyyah) di hadapan Allah.

Para pemikir Islam menyebut haji sebagai miniatur persatuan umat. Setiap tahun, prosesi haji menampilkan solidaritas global Muslim: tawaf bersama, wukuf di Arafah, dan melontar jumrah di Mina. Hal ini menumbuhkan kesadaran bahwa umat Islam adalah satu komunitas global (pan-Islamic), memperkuat semangat toleransi dan silaturahmi lintas kelompok sepulang dari haji.

Secara spiritual, haji adalah perjalanan yang mengubah hidup. Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa haji mabrur berpahala surga. Jamaah menghadapi tantangan fisik dan mental yang membentuk kesabaran, ketundukan, dan pengorbanan. Hasilnya adalah pribadi yang lebih bersih, taat, sabar, dan peduli terhadap sesama.

Dampak sosial-politik haji pun signifikan. Sejak dahulu, haji menjadi ajang bertukar gagasan dan membangun kesadaran global atas isu-isu umat. Hingga kini, haji terus memperluas wawasan jamaah tentang kondisi umat Islam di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, haji bukan hanya ibadah ritual, tapi juga sarana persatuan dan transformasi pribadi serta sosial umat Islam.

Inti Idul Adha adalah pengorbanan dan ketundukan total kepada Allah, baik secara spiritual maupun sosial. Melalui kisah Nabi Ibrahim, Islam mengajarkan bahwa ketaatan sejati menuntut kesiapan berkorban—entah itu harta, waktu, kenyamanan, atau ego—demi memenuhi perintah-Nya. Inilah makna sejati dari Islam: penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Ilahi.

Ibadah kurban menjadi simbol kepasrahan tersebut, meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya. Setiap Muslim diingatkan bahwa mereka pun memiliki “Ismail” dalam hidup—hal-hal duniawi yang dicintai—yang harus dikorbankan jika bertentangan dengan kehendak Allah.

Pesan sosial Idul Adha sama pentingnya dengan makna spiritualnya. Ibadah kurban melatih kita untuk berbagi dan peduli kepada sesama, mendorong terciptanya masyarakat yang empatik dan saling membantu. Pengabdian kepada Allah harus tercermin dalam kepedulian sosial. Seorang Muslim yang taat juga dituntut untuk dermawan dan siap berkorban demi kebaikan bersama.

Sebagian ulama bahkan memaknai kurban sebagai segala bentuk amal yang mendekatkan diri kepada rahmat Allah—bukan hanya menyembelih hewan, tetapi juga berkorban waktu, tenaga, atau kepentingan pribadi demi kemaslahatan umum. Pengorbanan sosial ini menumbuhkan altruisme dan mengikis ego demi terciptanya harmoni dalam masyarakat.

Idul Adha mengajarkan pelajaran universal: tanpa pengorbanan, tak ada pencapaian spiritual atau tatanan sosial yang luhur. Nabi Ibrahim mencapai derajat tinggi karena pengorbanannya, dan demikian pula setiap Muslim dituntut memiliki jiwa berkorban untuk mendekat kepada Allah dan membangun masyarakat yang adil.

Kurban menjadi simbol puncak ketaatan kepada Tuhan dan kepedulian terhadap sesama. Perayaan Idul Adha setiap tahun mengingatkan bahwa hidup ini sementara dan semua yang dimiliki adalah titipan Allah. Karenanya, pengabdian kepada-Nya harus disertai dengan tanggung jawab sosial demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan bersama.

Sebagai penutup, Idul Adha mengandung pesan indah yang memadukan nilai ketuhanan dan kemanusiaan: tunduk total kepada Allah dan peduli kepada sesama melalui pengorbanan. Melalui haji dan kurban, Islam membentuk pribadi yang bertakwa, rendah hati, dan rela berkorban demi kebaikan.

Idul Adha mengajarkan bahwa cinta kepada Ilahi harus terwujud dalam kasih kepada sesama. Semoga semangat ini terus hidup dalam keseharian umat Islam, menjadikan mereka hamba yang taat dan bermanfaat bagi sesama manusia.

 

Referensi:

https://www.adeli-af.com/فلسفه وجودی عید سعید اضحی در اسلام – سید جعفرعادلی«حسینی» پژوهشگر و نویسنده