IMAM DAN KHALIFAH (1)
Dalam wacana pemikiran Islam, khususnya yang menyentuh kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad, istilah imamah dan khilafah kerap menjadi pusat diskusi dan perbedaan penafsiran. Ketidakjelasan dalam memahami nuansa makna kedua istilah ini telah memicu perdebatan panjang yang menguras energi intelektual dan sosial dalam upaya mencari titik temu. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih tegas, mendalam, dan distingtif terhadap imamah dalam tradisi Syiah dan khilafah dalam tradisi Sunni menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Syiah, imamah adalah kepemimpinan yang berakar pada ketetapan ilahi (nash) dan penunjukan langsung dari Allah melalui Nabi Muhammad. Ia memiliki karakter sakral dan transenden, di mana otoritasnya adalah mandat spiritual dan keagamaan yang melampaui kesepakatan manusia semata. Dengan demikian, imamah lebih tepat dipahami sebagai kewenangan (dalam arti authority), sebuah legitimasi yang bersumber dari dimensi ilahi, kepercayaan, dan mandat dari Sang Pencipta. Kewenangan ini merepresentasikan ajaran agama yang otentik dan menjadi rujukan definitif bagi umat.
Sebaliknya, kekhalifahan, sebagaimana dipahami oleh mayoritas Sunni, adalah kepemimpinan yang lahir melalui konsensus (ijma’) atau perjanjian (bai’ah), meskipun implementasinya dalam sejarah Islam pasca-Nabi tidak selalu konsisten. Otoritas dalam kekhalifahan lebih bersifat teknis dan administratif, yaitu kekuasaan yang mengelola masyarakat dalam wilayah teritorial formal. Karena itu, kekhalifahan lebih tepat dimaknai sebagai kekuasaan aktual yang bersifat kondisional.
Kekuasaan profan ini dalam sejarah dikukuhkan melalui berbagai cara, seperti: kesepakatan perwakilan terbatas (ahl al-halli wa al-‘aqd) dalam pemilihan Abu Bakar, penunjukan langsung oleh penguasa sebelumnya (istikhlaf) seperti penunjukan Umar oleh Abu Bakar, penunjukan oleh elit terbatas dalam rapat tertutup untuk Utsman, pengakuan atas dasar prioritas religio-politik terhadap Ali yang diangkat oleh mayoritas masyarakat Madinah, hingga pengambilalihan kekuasaan secara paksa (coup d’état) seperti yang dilakukan Muawiyah terhadap Ali, yang kemudian meletakkan dasar bagi kekhalifahan dinasti (khilāfah ‘ala al-manhaj al-sulālah) yang terinstitusionalisasi pada masa Umayyah, Abbasiyah, dan mencapai puncaknya pada monarki Kesultanan Utsmaniyah.
Peralihan kekuasaan secara turun-temurun ini menegaskan bahwa kekhalifahan dalam praktiknya lebih merupakan struktur politik duniawi yang adaptif terhadap realitas sosio-historis, bukan sistem sakral yang kaku seperti yang sering diidealkan. Istilah ini merujuk pada kekuasaan de facto yang mapan demi menegakkan hukum, melanggengkan status quo, dan mengatur tatanan sosial serta ekspansi, sebagaimana tercermin dalam catatan sejarah.
Perbedaan mendasar antara kewenangan (imamah) dan kekuasaan (khilafah) terletak pada sumber legitimasi, cakupan fungsi, sifat aktualisasi, dan fokus utama. Kewenangan dalam imamah mendapatkan legitimasinya langsung dari ketetapan ilahi (divine legitimacy), sebuah pengakuan dan pembenaran yang berasal dari dimensi spiritual dan teologis. Ia adalah hak dan tanggung jawab yang dianugerahkan oleh Allah kepada individu-individu terpilih. Sedengkan kekuasaan dalam khilafah mendapatkan legitimasinya dari akseptabilitas publik (public acceptability), sebuah pengakuan dan dukungan yang berasal dari mayoritas umat melalui mekanisme konsensus, pemilihan, atau cara lainnya.
Kewenangan (imamah) bersifat potensial dan normatif. Ia adalah kapasitas atau hak yang melekat pada individu-individu yang telah ditetapkan secara ilahi, terlepas dari apakah mereka secara faktual memegang tampuk pemerintahan atau tidak. Esensi imamah terletak pada legitimasi dan kapasitas spiritual serta intelektual yang dimiliki oleh para Imam, bahkan ketika mereka tidak memiliki kekuasaan politik formal.
Sebaliknya, kekuasaan (khilafah) bersifat aktual dan operasional. Ia adalah kemampuan yang terwujud dalam tindakan nyata untuk memerintah, mengelola sumber daya, dan menegakkan hukum dalam masyarakat. Eksistensi khilafah sangat bergantung pada adanya struktur pemerintahan yang berfungsi dan pengakuan dari mayoritas umat atau dukungan elit politik yang kuat.
Bersambung....