Dzulhijjah: Bulan Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Imam Husain (1)
Bulan Dzulhijjah tidak hanya dimuliakan karena ibadah haji dan Idul Adha, tetapi juga menjadi momentum awal dari dua peristiwa besar yang mencerminkan makna sejati dari pengorbanan: kisah Nabi Ibrahim a.s. dan perjalanan Imam Husain a.s. menuju Karbala sebuah peristiwa besar yang mengguncang sejarah Islam. Kedua tokoh agung ini menunjukkan bagaimana cinta kepada Allah dan komitmen terhadap kebenaran mengatasi segalanya, bahkan nyawa sekalipun.[1]
Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan hari-hari yang paling dicintai Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh.”[2]. Para mufassir menjelaskan bahwa “malam yang sepuluh” merujuk pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah[3]. Amalan pada hari-hari ini, seperti puasa, dzikir, sedekah, dan shalat sunnah, memiliki nilai besar di sisi Allah.
Hari-hari ini juga adalah waktu pelaksanaan ibadah haji, yang puncaknya terjadi pada tanggal 9 Dzulhijjah (wukuf di Arafah) dan diikuti oleh Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dalam Idul Adha, umat Islam meneladani ketundukan Nabi Ibrahim a.s. dan anaknya, Nabi Ismail a.s., dalam menjalankan perintah Allah tanpa ragu.
Nabi Ibrahim a.s dan Makna Pengorbanan: Ketaatan yang Tanpa Syarat
Kisah Nabi Ibrahim a.s. adalah salah satu kisah paling menggugah dalam sejarah kenabian yang mengajarkan tentang makna sejati dari ketaatan dan pengorbanan. Dalam hidupnya, Nabi Ibrahim diuji oleh Allah dengan berbagai ujian besar yang mengharuskan dirinya memilih antara keinginan manusiawi dan kehendak Ilahi. Puncak dari ujian itu adalah perintah untuk menyembelih putra tercintanya, Ismail a.s. sebuah perintah yang mengguncang hati setiap orang tua, tetapi justru menjadi bukti dari ketinggian iman dan penghambaan seorang kekasih Tuhan.
Ketika perintah itu datang, Nabi Ibrahim tidak ragu atau menunda. Ia menyampaikan kehendak Allah kepada Ismail dengan kelembutan yang luar biasa: “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.”[4]
Jawaban Ismail pun menunjukkan kematangan spiritual yang luar biasa, meskipun ia masih sangat muda: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”[5] Kalimat ini tidak hanya mencerminkan ketundukan seorang anak kepada ayahnya, tetapi juga kepasrahan total kepada Allah, sebuah tanda bahwa keimanan bisa meresap hingga ke dalam jiwa muda jika ditanamkan dengan benar.
Akhir dari kisah ini bukanlah darah, melainkan rahmat. Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Ini adalah momen simbolik yang menegaskan bahwa tujuan dari perintah itu bukanlah menyakiti, melainkan menguji kesetiaan dan keikhlasan.
“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”[6]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menginginkan darah dan daging. Yang Dia kehendaki adalah hati yang tunduk dan jiwa yang siap menyerahkan segalanya demi cinta kepada-Nya. Inilah makna terdalam dari ibadah kurban yang setiap tahun kita rayakan dalam momen Idul Adha: bukan semata-mata menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego, hawa nafsu, dan segala hal yang menghalangi kita dari keikhlasan kepada Allah.[7]
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah pesan abadi untuk setiap muslim di setiap zaman. Bahwa hidup ini adalah ladang ujian. Bahwa terkadang, Allah meminta kita untuk melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai demi sesuatu yang lebih besar yaitu ridha-Nya.
Setiap dari kita memiliki “Ismail” dalam hidup, bisa berupa ambisi pribadi, harta, jabatan, bahkan hubungan yang kita genggam erat. Ketika Allah menguji kita untuk melepaskannya, apakah kita siap untuk berkata sebagaimana Ibrahim dan Ismail berkata: “Kami pasrah dan kami sabar”?
Bersambung ....