Kematian dalam Islam dan Nahjul Balaghah: Refleksi Karbala dan Syahadah Para Sahabat Imam Husain as (1)
Kematian adalah sebuah keniscayaan universal yang tidak dapat ditunda atau ditolak oleh siapa pun. Ia bukan sekadar akhir dari kehidupan biologis, melainkan sebuah gerbang yang menandai permulaan dari perjalanan yang lebih agung dan abadi. Al-Qur’an menegaskan realitas ini dalam firman-Nya:
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.” (QS. Ali Imran: 185)
Namun meski kepastian kematian begitu jelas, sikap manusia terhadapnya sangat beragam. Sebagian menghadapinya dengan ketakutan dan keputusasaan, seakan-akan ia adalah kehancuran total. Sebagian lainnya, terutama yang tercerahkan oleh iman, justru memandang kematian sebagai awal dari pertemuan suci dengan Sang Khalik. Dalam perspektif ini, kematian bukanlah musibah, melainkan anugerah yang memurnikan makna hidup.
Dalam ajaran Islam, kematian (al-maut) bukanlah peristiwa acak atau akhir tragis, melainkan bagian dari rencana ilahi yang penuh rahmat. Al-Qur’an sering kali menggambarkan kematian dengan istilah tawaffi, yang berarti “pengambilan” ruh oleh malaikat atas perintah Allah. Ini menunjukkan bahwa kematian berada dalam kekuasaan mutlak Tuhan—ia adalah transisi dari dunia fana menuju dimensi yang lebih hakiki.
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Nahjul Balaghah menegaskan hal ini:
“Wahai manusia, sesungguhnya kalian diciptakan untuk keabadian, bukan untuk kebinasaan. Kalian hanya berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain.”
Kata-kata Imam Ali ini menggambarkan bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan tempat tinggal abadi. Mengingat kematian bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangkitkan kesadaran eksistensial. Sebagaimana beliau menyatakan dalam hikmah lainnya:
“Kematian adalah permata bagi orang yang mengenalnya.”
Maka kematian yang dipahami dengan iman akan menjadi pemantik kesadaran spiritual, pengingat tanggung jawab moral, dan pendorong untuk berbuat baik.