Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ujian Para Pemuka Agama adalah Uang?

0 Pendapat 00.0 / 5

Pertanyaan ini bukan untuk mendukung hedonisme di kalangan pemuka agama. Apresiasi yang dimaksud adalah skala yang wajar dan layak, sesuai kebutuhan hidup masa kini. Mengapa justru para pemuka agama yang harus menghadapi ujian keuangan yang sulit ini? Bukankah lebih tepat jika masyarakat mengubah paradigma dengan memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan agar mereka yang berkhidmat dapat benar-benar fokus tanpa dibebani kekhawatiran hidup mendasar?

Uang Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Butuh Uang

Artikel ini tidak bertujuan mengagungkan materi di atas spiritualitas. Mengutip Muhammad Iqbal yang ia tulis di bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dalam Islam):

“Islam is non-territorial in character, and its aim is to furnish a model for human unity, but it cannot ignore the natural affiliations of men with the land. Islam does not recognize the division between sacred and profane. All that is secular is, in a certain sense, sacred.”

“Islam bersifat non-teritorial, dan tujuannya adalah menyediakan model bagi persatuan umat manusia, namun Islam tidak dapat mengabaikan keterikatan alami manusia dengan dunia tempatnya berpijak. Islam tidak mengakui pemisahan mutlak antara yang suci dan yang duniawi. Segala sesuatu yang bersifat duniawi dalam makna tertentu juga bersifat suci.”

Di sini Muhammad Iqbal menegaskan bahwa manusia hidup di dunia dengan tugas yang bersifat spiritual sekaligus material. Ia tidak boleh mengabaikan aspek keduniawiannya karena dunia merupakan wahana spiritualitas itu sendiri. Juga ia menekankan Islam mengajarkan integrasi antara duniawi dan spiritual. Seseorang harus mampu mengelola kehidupan materialnya secara spiritual, tanpa memisahkan keduanya secara ekstrim. Mau bagaimana pun manusia tetap hidup di dunia, yang di antara spiritualitas dan materinya haruslah seimbang tidak ada yang diremehkan begitu saja.

Di dunia ini, manusia menjalani kehidupannya dalam sebuah sistem sosial yang dilandasi oleh berbagai perjanjian antar sesama manusia. Salah satu bentuk perjanjian tersebut diwujudkan dalam penggunaan uang sebagai alat tukar, yakni simbol kesepakatan atas nilai barang atau jasa yang dipertukarkan secara adil. Oleh karena itu, ketika seseorang secara simplistis menyatakan bahwa ‘uang bukan segalanya’ atau menuduh orang lain mencintai dunia (hubbud dunya) dengan nada negatif, sementara realitanya sistem kehidupan memang mengharuskan penggunaan uang sebagai alat perjanjian sosial, maka hal tersebut justru bisa menjadi bentuk manipulasi moral dan pelanggaran terhadap kesepakatan sosial yang sudah disepakati bersama.

Keresahan yang diangkat di sini muncul bukan dari posisi sebagai pemuka agama atau pengajar agama, melainkan dari pengamatan langsung terhadap fenomena nyata ini. Diharapkan tulisan ini menjadi refleksi kritis agar masyarakat lebih peduli, adil, dan bertanggung jawab dalam menghargai setiap jasa dan khidmat yang diberikan oleh para pemuka agama dan talabeh, agar mereka dapat hidup dengan layak dan bermartabat sambil menjalankan tugas mulianya.