KARBALAISME, SPIRIT KAUM TERKUCILKAN
Di atas panggung sejarah yang terus berputar, semangat Karbala menemukan gema barunya dalam siluet sebuah bangsa yang tegak di tengah badai geopolitik: Iran. Ia muncul bagai sang David di zaman modern, seorang underdog yang sebatang kara, menghadapi raksasa Goliath bernama Amerika Serikat beserta anak emasnya, Israel. Seperti al-Husain di padang Karbala yang memilih jalan sunyi kebenaran di tengah gurun pragmatisme, Iran pun melangkah dengan logika yang asing bagi telinga dunia—menolak tunduk pada orbit kenyamanan yang manis demi memegang teguh paradigma kebenaran yang kerap terasa pahit.
Di tengah pesta global yang memuja kalkulasi untung-rugi, di mana keamanan semu dan kesejahteraan materi menjadi mantra utama, Iran berdiri dengan pilihan kontradiktif. Ia dikepung, dicibir, didera blokade ekonomi yang mencekik nafas rakyatnya, dihujani ancaman militer di perbatasannya, dan diasingkan dalam diplomasi internasional. Namun, seperti para pengikut setia di padang nan suci itu yang menolak membaiat kezaliman, Iran memilih jalan terjal sebagai 'buron' dalam tatanan dunia—terpinggir secara politik, terkepung secara ekonomi, namun kukuh mempertahankan kedaulatan prinsipnya. Setetes darah syuhada yang tumpah di jalan perlawanan ini, bagai benih di gurun materialisme global, bukanlah tanda kekalahan, melainkan pupak bagi tumbuhnya 'bumi kemuliaan' yang merdeka dari penjajahan bentuk baru.
Logika perjuangan ini tentu terasa sebagai sebuah kekonyolan di mata penganut pragmatisme tulen. Bagi kekuatan adidaya dan sekutunya yang mengukur segalanya dalam neraca kapal perang, cadangan minyak, dan dominasi pasar, ketegaran Iran adalah teka-teki yang menjengkelkan. Bagaimana mungkin sebuah bangsa, dengan segala keterbatasan sumber daya dan tekanan luar biasa, berani menantang hegemoni yang begitu perkasa? Mereka, yang terbelenggu pada logika kuantitatif—senjata yang lebih canggih, ekonomi yang lebih besar, sekutu yang lebih banyak—terlupa bahwa di balik angka dan materi, bersemayam kekuatan kualitatif yang tak terukur: semangat pengorbanan yang lahir dari keyakinan mendalam, harga diri kolektif yang tak ternilai harganya, dan tekad membara untuk merdeka dari segala bentuk penindasan.
Laga abadi antara Darah dan Pedang pun menemukan panggung kontemporernya. Amerika Serikat, mengayunkan pedang diplomasi koersif dan sanksi yang menghancurkan, bersekutu dengan Israel yang menusukkan belati operasi intelijen dan serangan presisi, berusaha mematahkan tulang punggung perlawanan ini. Namun, sebagaimana epik Karbala mengajarkan, kekuatan kualitatif sang 'Darah' terus mengalir deras, menemukan celah untuk hidup. Setiap sanksi yang mencekik justru memicu lompatan kemandirian teknologi. Setiap ancaman yang menggunting justru merajut solidaritas rakyat lebih erat. Setiap upaya isolasi justru melahirkan diplomasi mandiri yang lincah. Iran, bagai penganut Karbalaisme di pentas dunia, membuktikan bahwa kemenangan sejati bukanlah menguasai panggung gemerlap dengan kompromi, melainkan teguh mempertahankan martabat di tengah kepungan badai, meski harus sendirian.
Maka, di hadapan Goliath modern yang bersenjatakan segala keperkasaan duniawi, Iran sang David tidak sekadar bertahan. Ia menantang dengan senjata yang lebih dahsyat dari rudal dan uranium: keyakinan tak tergoyahkan bahwa kebenaran yang diperjuangkan dengan ketulusan dan pengorbanan, pada akhirnya akan mengalahkan pedang kesewenangan—betapa pun besar dan mengkilapnya pedang itu. Inilah nyala abadi semangat Karbala yang terus bergema, bukan sebagai ratapan atas duka masa lalu, melainkan sebagai obor penerang bagi setiap underdog yang berani berkata "tidak" pada kezaliman kolosal. Di sanalah, dalam keteguhan Iran yang dianggap aneh oleh dunia yang terlena pada kenyamanan, jiwa al-Husain hidup dan bernafas, membisikkan mantra abadi: bahwa logika Darah, pada akhirnya, akan mengalahkan Pedang.