TOLERANSI: MAYORITAS YANG MENGAYOMI DAN MINORITAS YANG MENGHORMATI
Toleransi tidak hanya berarti mayoritas mengakui eksistensi minoritas, tapi juga minoritas beradptasi dengan kehidupan bercorak mayoritas.
Prinsip logis dan realistis ini berlaku dalam semua masyarakat dengan aneka demografi. Ini bukan soal penyeragaman, apalagi peleburan perbedaaan, tapi soal membangun harmoni yang dinamis dan berperadaban.
Penggunaan frasa mayoritas-minoritas, meski sejatinya problematik dan irrelevan dalam sebuah negara yang asasnya tidak memberikan preferensi dan hak istimewa berdasarkan kuantitas penganut keyakina atau kelompok etnis, kita tidak bisa mengabaikan realitas demografi dan ada kelompok yang lebih besar atau lebih kecil jumlahnya dalam suatu masyarakat.
Karena itu, tantangan kita adalah memastikan bahwa perbedaan jumlah ini tidak menjadi alasan untuk mendominasi atau merendahkan, tetapi justru menjadi fondasi untuk membangun dialog dan kerja sama.
Toleransi yang sejati adalah cerminan kedewasaan sebuah masyarakat. Ia menuntut keterbukaan dari mayoritas untuk merangkul keberagaman, sekaligus kesediaan minoritas untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan bersama tanpa kehilangan identitasnya.
Dengan cara ini, toleransi bukan lagi sekadar konsep, tetapi praktik nyata yang menghidupkan harmoni dalam keberagaman—sebuah harmoni yang tidak statis, tetapi terus berkembang seiring waktu, mencerminkan semangat peradaban yang inklusif dan berpikiran terbuka.
Atas dasar itu, menyelenggarakan sebuah event khas dan sensitif secara terbuka (apalagi tanpa kalkulasi dan koordinasi) yang sangat mungkin menimbulkan pertanyaan atau bahkan dijadikan sebagai alasan bagi segelintir orang gagal nalar untuk melakukan persekusi atas nama dominasi kuantitas meski sama sekali tak mewakili mayoritas, adalah inisiasi yang bertentangan dengan tujuan mempertahankan eksistensi.
Bangsa yang kuat dan umat yang beradab adalah yang kelompok mayoritasnya berkarakter mengayomi, dan minoritasnya berwatak menghormati.