Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Karena Dunia Ini Tidak Memiliki Tepi (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

“Hidup itu sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau buruk. Ia adalah tempat terjadinya kebaikan dan keburukan, tergantung apa yang engkau lakukan dengannya.”— Simone de Beauvoir

Apa yang membuat seseorang peduli terhadap penindasan yang terjadi ribuan kilometer jauhnya? Mengapa ada yang menangis melihat reruntuhan di Gaza, merasa bersalah menyaksikan kemiskinan di Kongo, atau geram atas kamp konsentrasi di Tiongkok padahal hidupnya nyaman dan aman di kota lain yang tak terguncang satu pun peluru? Banyak yang mungkin bertanya dengan sinis: bukankah lebih baik mengurus hidup sendiri? Bukankah lebih realistis fokus pada lingkungan terdekat kita saja? Namun, justru di sanalah batas antara nalar yang picik dan etika yang universal. Filsafat, yang pada dasarnya adalah usaha memahami arti menjadi manusia, telah sejak lama memberi kita fondasi untuk menyadari bahwa penderitaan tidak pernah benar-benar jauh, bahwa kejahatan yang dibiarkan tumbuh di tempat lain cepat atau lambat akan menelusup ke ruang hidup kita sendiri, dan bahwa kebebasan adalah ilusi jika tidak kita perjuangkan juga untuk orang lain.

Simone de Beauvoir menulis The Ethics of Ambiguity sebagai penegasan bahwa manusia adalah makhluk yang dilemparkan ke dalam dunia dengan kebebasan yang tidak pernah absolut, tetapi selalu berada dalam ketegangan antara keinginan dan batas. Ia menolak etika yang menutup mata terhadap kompleksitas eksistensi manusia. Bagi Beauvoir, kebebasan manusia sejati justru ditemukan dalam tindakan, dalam memilih untuk menjadi. Dan pilihan itu menjadi bermakna hanya ketika dilakukan dengan kesadaran bahwa orang lain juga sedang berjuang menemukan kebebasannya sendiri. Maka, jika ada orang lain yang ditindas, dan kita tidak melakukan apapun, kebebasan kita sendiri menjadi cacat. Sebab, kebebasan tidak bisa egois. Ia adalah proyek kolektif yang menuntut solidaritas, bukan karena belas kasihan, melainkan karena kesadaran ontologis bahwa aku tidak bisa menjadi bebas jika kamu masih dalam belenggu.

Beauvoir tidak percaya pada nilai-nilai yang datang dari langit tanpa perantara manusia. Ia percaya bahwa nilai harus diciptakan oleh manusia yang sadar akan kebebasannya. Tetapi menciptakan nilai tidak berarti bebas sebebas-bebasnya, melainkan justru menanggung tanggung jawab lebih besar. Ketika aku mengakui diriku sebagai makhluk bebas, maka aku juga harus mengakui kebebasan orang lain. Dalam konteks itu, membiarkan orang lain tertindas adalah bentuk sabotase terhadap makna eksistensi itu sendiri. Peduli terhadap penindasan di tempat lain bukanlah pilihan tambahan, tapi konsekuensi logis dari memilih untuk hidup secara etis dan eksistensial.

Noam Chomsky, dalam The Responsibility of Intellectuals, membongkar kedok netralitas dan kebisuan para intelektual yang merasa bahwa urusan dunia bisa dipilah-pilah sesuai batas geografis dan kenyamanan. Ia menunjukkan bahwa kebohongan dan kekejaman seringkali terjadi bukan karena kebrutalan langsung, tetapi karena persetujuan diam-diam dari mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Chomsky menantang kaum intelektual—dan setiap orang yang memiliki akses pada kebenaran—untuk tidak hanya melihat, tetapi juga berbicara, mengungkap, dan bertindak. Ketika bom jatuh di negara yang jauh dan kita memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, dan menyampaikan fakta yang sebenarnya, maka diam adalah bentuk partisipasi dalam penindasan.

Chomsky menekankan bahwa pengetahuan membawa tanggung jawab. Dalam dunia yang terkoneksi ini, ketika berita bisa diakses dalam hitungan detik dan foto-foto penderitaan tersebar cepat melalui jaringan sosial, maka alasan untuk tidak tahu menjadi lemah. Ketidaktahuan hari ini bukanlah keterbatasan informasi, tetapi hasil pilihan untuk menutup mata. Maka, siapa pun yang memilih untuk melihat, tahu bahwa melihat pun adalah tindakan politik. Mengetahui dan tetap diam, menurut Chomsky, bukan netralitas, tetapi kepengecutan. Maka, bahkan jika penindasan itu terjadi di tempat yang tidak kita kenal, dan kita tidak bisa pergi ke sana, kita masih bisa—dan harus—berbuat sesuatu. Menyuarakan, mendidik, mendukung, bahkan sekadar menolak ikut dalam kebohongan, semuanya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan.

Bersambung...