Karena Dunia Ini Tidak Memiliki Tepi (2)
Susan Sontag, dalam Regarding the Pain of Others, mengupas bagaimana gambar-gambar penderitaan bisa menyentuh hati, tetapi juga bisa membuat kita mati rasa. Ia tidak menolak kekuatan visual, tetapi mengkritisi cara kita mengonsumsinya. Sontag bertanya: apakah kita benar-benar peduli saat melihat gambar seorang anak terluka? Ataukah kita hanya mengonfirmasi rasa aman kita sendiri karena bukan kita yang ada dalam foto itu? Sontag tidak menuntut air mata, tapi menantang kita untuk keluar dari posisi sebagai penonton. Ia mengingatkan bahwa melihat penderitaan orang lain seharusnya tidak berhenti pada rasa iba, melainkan berlanjut pada pertanyaan: apa yang bisa saya lakukan?
Dalam dunia yang terkoneksi ini, ketika berita bisa diakses dalam hitungan detik dan foto-foto penderitaan tersebar cepat melalui jaringan sosial, maka alasan untuk tidak tahu menjadi lemah.
Dalam dunia yang dibanjiri gambar dan narasi, penderitaan bisa menjadi konsumsi seperti berita cuaca. Tetapi Sontag mengingatkan bahwa setiap gambar adalah panggilan. Dan respons kita terhadap panggilan itu menunjukkan siapa kita. Jika kita merasa terganggu, itu baik. Jika kita terus merasa terganggu, itu lebih baik. Tapi yang paling penting adalah apakah gangguan itu menggerakkan kita untuk menolak dunia yang menjadikan penderitaan sebagai hal biasa. Maka, ketika kita melihat kota yang hancur di Ukraina, kamp pengungsi di Palestina, atau perempuan-perempuan yang dipaksa bungkam di Iran, itu bukan hanya tentang mereka—itu tentang kita, tentang keberanian kita untuk tidak larut dalam kekebalan emosional yang nyaman.
Ketiga pemikir ini—Beauvoir, Chomsky, dan Sontag—berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi mereka menyuarakan satu hal yang sama: bahwa menjadi manusia adalah tentang bertanggung jawab, tidak hanya atas diri sendiri, tetapi juga terhadap dunia. Dunia ini memang luas, tetapi penderitaan tidak pernah jauh. Ia menyelinap lewat layar ponsel kita, lewat percakapan, lewat wacana publik. Ia hadir di antara keputusan politik, produk-produk yang kita beli, dan kebijakan luar negeri yang kita abaikan. Maka, jika kita tidak peduli karena merasa itu bukan urusan kita, kita sedang menciptakan dunia yang memungkinkan penindasan terus terjadi. Dunia yang dibuat oleh orang-orang yang memilih nyaman daripada adil, aman daripada jujur.
Kepedulian bukanlah soal romantisme, melainkan etika. Membantu bukan berarti harus menyelesaikan semuanya, tetapi berarti berdiri di sisi yang benar, meskipun sunyi. Ketika seseorang menyumbang untuk korban perang, berbicara menentang pembantaian, atau sekadar menolak ikut menyebar hoaks yang membenarkan kekerasan, itu adalah tindakan filsafat. Ia menyatakan bahwa manusia masih bisa memilih untuk tidak tunduk pada logika kekuasaan yang membenarkan segalanya demi stabilitas, investasi, atau identitas nasional.
Beauvoir menulis bahwa hidup adalah tempat berlangsungnya baik dan buruk, tergantung apa yang kita buat darinya. Maka, jika hari ini kita hidup di dunia di mana penindasan masih terjadi, tanggung jawab kita bukan hanya mengutuk, tetapi menciptakan kondisi di mana kebaikan bisa tumbuh. Dunia tidak akan berubah karena satu tindakan, tetapi ia akan membusuk jika tidak ada satu pun tindakan. Maka, peduli terhadap yang tertindas—bahkan jika mereka jauh—adalah cara kita menyatakan bahwa dunia ini masih layak untuk diperjuangkan. Bahwa kemanusiaan belum mati. Bahwa di tengah kebisingan propaganda dan ketidakpedulian, masih ada suara yang berkata: tidak, ini tidak benar. Dan saya tidak akan diam.
Jika kita merasa dunia ini terlalu besar, ingatlah bahwa kebaikan selalu dimulai dari keputusan paling kecil: mendengar jeritan yang bukan berasal dari rumah sendiri, lalu memilih untuk tidak memalingkan muka. Sebab dunia ini tidak memiliki tepi—penderitaan yang jauh hari ini, bisa jadi mendekat esok hari. Dan ketika itu terjadi, kita akan berharap ada yang peduli, bahkan jika kita berada di ujung dunia yang sepi.
Daftar Pustaka
Beauvoir, Simone de. The Ethics of Ambiguity. Translated by Bernard Frechtman. Citadel Press, 2000.
Chomsky, Noam. The Responsibility of Intellectuals. The New Press, 2017.
Sontag, Susan. Regarding the Pain of Others. Picador/Farrar, Straus and Giroux, 2004