Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

“Alhamdu Lillah ‘ala ‘Azhiimi Roziyyatii” (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Ya Allah… segala puji bagi-Mu dengan pujian orang-orang yang bersyukur atas musibah yang Engkau tetapkan kepada kami melalui mereka… Segala puji bagi-Mu atas besarnya bencana yang menimpa kami.

Wahai peziarah Al Husain yang merindukan untuk menangis bersama langit dan bebatuan, Selamat datang Muharram… bulan di mana luka hati Kembali menganga…Dan kapas-kapas yang menutupnya terkelupas.

Bila di bulan Haji kita menyembelih domba , kibasy dan sapi, sungguh kita cegah mereka dari haus dan lapar sebelum disembelih. Namun Al Husain beserta 17 Bani Hasyim yang disembelih dalam keadaan kehausan. Muharam sungguh penuh lara. Namun mengapa kita demikian merindukannya? Ziarah Arbain berjalan 70 km 1400 tiang Najaf ke Karbala demikian dahsyat . Namun mengapa kita demikian mendambakannya siang dan malam?

Di saat luka-luka terdalam kita memancar air mata darah nan pilu, betapa menakjubkannya bait-bait  dalam Ziarah Asyura…

“اللَّهُمَّ لَكَ الحَمْدُ حَمْدَ الشَّاكِرِينَ عَلَى مُصَابِهِمْ…”

Yaa Allah, bagimu segenap puji dengan pujian orang-orang yang bersyukur atas musibah (yang menimpa kita melalui) mereka. Bagi saya , kalimat ini sungguh menakjubkan Kalimat ini sungguh ajaib. Apa yang layak kita syukuri dengan musibah yang demikian tak tertanggungkan? Bagaimana lidah kita dituntun untuk tetap melafazkan Hamdalah padahal demikian perih hati dengan tangisan atas musibah yang menimpa Nabi saw dan keluarganya yang suci as ? Apatah ini adalah syukur yang lahir dari hati yang terguncang…? Apatah ini adalah sesenggukan tangisan namun lisan tetap terucap Hamdalah?

Ataukah ini adalah ratapan yang melahirkan revolusi? Apakah sesungguhnya ini adalah puncak ridha?

Penerimaan pada takdir Allah yang bukan karena tak punya pilihan, namun karena hati telah menyatu dengan kehendak-Nya? Atau ini adalah sebagaimana kata Allahyarham Ustadz Jalal dalam Doa dan Kebahagiaan dan Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin, syukur bukan hanya atas nikmat, tapi juga atas bala’. karena bala’ adalah nikmat yang tersembunyi? Apakah ini adalah syukur atas musibah ? Yang menjadi jalan menuju ridho? Dan ridho adalah puncak yaqin? Ridho tak lain adalah jalan manusia menuju taslim? Ini bukan sekadar sabar, namun syukur dalam seberat ujian dan tragedi. Mengambil dari Ibnu ‘Arabi, ini adalah al-jam’u baina naqdhoin — pertemuan dua kutub yang saling bertolak: kesedihan dan kesyukuran, ratapan dan keindahan, derita dan keanggunan.

Mengambil dari Kyai Miftah Fauzi Rakhmat, guru yang kita cintai . Ini adalah qurrotul ‘uyun. Mata yang selalu mengembang air mata. Kesedihan yang tak pernah ingin kita sirnakan. Karena dalam dalamnya kepedihan cinta, dan perih luka kerinduan. Di sana ada aksara merah darah bertuliskan Askara Hijaiyyah, Al-Husain. Merah. Bak Darah. Namun gemilang. Cemerlang. Sejuk.Penuh kerinduan. Bersyukur atas seberat musibah ini sungguh adalah Qurrotul ‘Uyun. Biji mata. Permata hati. Mata nan selalu mengembang air mata. Namun tak pernah kita ingin ingkari

Sebagaimana ujaran Imam Khomeini,

Kasihku, Duhai Kasihku
Aku sakit karena Mu
Namun akan sakit ku ini
Ku tak ingin Kau sembuhkan

Sayyidah Zainab berkata di istana Ibnu Ziyad

ما رأيت إلا جميلاً

“Aku tidak melihat kecuali keindahan.“

Apa yang lebih menggetarkan dari itu?

Mari kita lihat perumpamaan dari arus listrik. Ketika kutub positif dan negatif bertemu dalam hubungan sempurna, muncullah tenaga luar biasa. Begitulah saat hati mukmin bersyukur di tengah musibah terbesar, gerakan ummat lahir! Kesadaran mengguncang! Kekuatan untuk berubah , mengubah dan pantang menyerah bangkit!

Kesabaran mukmin bukanlah kesabaran lemah. Tapi kesabaran sekeras baja. Bahkan lebih keras dari baja.

Bersambung...