MEMANDANG DUNIA DIGITAL DENGAN TEROPONG TRANSENDENTALISME-SADRA
Di tengah gemerlap era digital yang bergerak cepat, kita menciptakan dunia paralel melalui kode—metaverse yang memikat, deepfake yang nyaris tak terdeteksi, dan algoritma yang membentuk cara kita memandang dunia. Namun, di balik semua itu, sebuah pertanyaan mendasar menggema: Apakah realitas digital ini hanya ilusi, ataukah ia menyimpan makna yang lebih dalam dari yang kita duga Pertanyaan ini, yang terasa begitu modern, telah menemukan jawaban dalam pemikiran Mulla Sadra, seorang filsuf Persia dari abad ke-16.
Dalam Transendentalisme Sadra, ia mengajarkan bahwa keberadaan (wujud) jauh lebih esensial daripada hakikat (mahiyah) suatu benda. Dunia yang kita lihat—dari kursi yang kita duduki hingga gunung yang menjulang—bukanlah kumpulan benda terpisah, melainkan manifestasi dari satu Keberadaan Tunggal yang mendasari segalanya. Hakikat, seperti “apa itu kursi” atau “apa itu manusia,” hanyalah topeng yang kita kenakan untuk memahami realitas yang tak terbatas, mirip avatar digital yang menyembunyikan kode di baliknya.
Sadra memperkenalkan konsep gradasi eksistensi, di mana keberadaan hadir dalam berbagai tingkat intensitas, seperti cahaya yang memudar seiring jarak dari sumbernya. Keanekaragaman dunia, dari materi hingga jiwa, adalah ekspresi dari Keberadaan Tunggal dengan derajat yang berbeda. Bahkan dunia digital kita, dengan avatar dan simulasinya, dapat dilihat sebagai gradasi rendah dari realitas yang lebih tinggi, bukan sesuatu yang benar-benar terpisah.
Berbeda dengan Jean Baudrillard, yang melihat simulacra sebagai realitas tanpa asal, Sadra menegaskan bahwa dunia, meski penuh gradasi, selalu terhubung pada Keberadaan Tunggal yang absolut. Dunia digital bukanlah kepalsuan tanpa akar, melainkan bagian dari spektrum keberadaan yang menunjuk kembali pada sumbernya. Ini memberi kita harapan untuk melihat melampaui ilusi, sesuatu yang sulit ditemukan dalam pandangan Baudrillard. Dalam metaverse, kita menciptakan hakikat baru—avatar dengan identitas, penampilan, dan perilaku yang kita rancang. Namun, sering kali kita terjebak, menganggap persona digital ini lebih nyata daripada keberadaan sejati kita. AI, dengan kategorisasinya seperti pengenalan wajah atau algoritma rekomendasi, juga memperkuat hakikat buatan, mengurung kita dalam gelembung filter yang menyederhanakan realitas. Sadra akan memperingatkan: Kita telah menjadi tawanan hakikat ciptaan sendiri.
Pandangan ini selaras dengan Martin Heidegger, yang mengkritik teknologi modern sebagai Gestell, kerangka yang mereduksi manusia dan alam menjadi sekadar data atau sumber daya. Baik Sadra maupun Heidegger memperingatkan bahaya reduksi ini—Sadra melalui dominasi hakikat, Heidegger melalui penyusunan teknologi. Namun, solusi mereka berbeda. Heidegger mengajak kita pada ketenangan (Gelassenheit), menerima teknologi tanpa dikuasainya. Sadra menawarkan gerak substansial, sebuah perjalanan jiwa menuju kesatuan dengan Keberadaan Tunggal, sebuah transformasi aktif yang dinamis.
Dalam konteks digital, ajaran Sadra bisa menjadi “Sufisme Digital.” Realitas virtual bukan musuh, melainkan cerminan gradasi keberadaan. Tindakan sederhana seperti “log out” menjadi praktik spiritual, pengingat bahwa kita bukan avatar atau data kita. Ini adalah meditasi untuk melepaskan diri dari identitas digital dan kembali pada keberadaan sejati, sebuah langkah menuju keabadian dalam Keberadaan Tunggal.
Krisis realitas digital, seperti deepfake yang merusak reputasi, juga mendapat pencerahan dari Sadra. Reputasi hanyalah hakikat, sementara nilai sejati seseorang terletak pada integritas keberadaannya. Teknologi harus menjadi alat untuk mendekatkan kita pada wujud sejati, bukan menjebak kita dalam simulasi.
Pemikiran Sadra, dengan prinsip keutamaan keberadaan, terasa seperti panduan spiritual di era algoritma. Ia mengajak kita melihat di balik gemerlap hakikat digital menuju keberadaan yang abadi.
Pertanyaan yang tersisa adalah: Akankah kita terus terpaku pada simulasi ciptaan kita, atau memilih jalan Sadra untuk menemukan kembali esensi kemanusiaan kita di tengah lautan data? Pilihan ini menentukan arah masa depan kita.

