Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Irfan dalam Perspektif Bahasa dan Istilah: Antara Ilmu, Makrifat, dan Hudhuri (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Irfan (عرْفَان) adalah kosakata Arab. Kata ini berasal dari kata kerja ‘arafa (عَرَفَ). Terkait dengan makna kata ‘arafa ini, para ulama memiliki pendapat yang beragam. Raghib Isfahani, misalnya, berpendapat bahwa `arafa bermakna “mengetahui sesuatu dengan cara berpikir dan merenungi kesan-kesannya”. Makna ini lebih khusus dari makna `ilm, sebab kata ‘alima  tidak menjangkau maf`ul (objek yang dikenali). Karena itu, menurut Isfahani, keliru jika dikatakan ‘fulan ya`lamullaha’ (seseorang tahu tentang Allah), tapi benar jika dikatakan ‘fulan ya`rifullaha’ (Seseorang mengenali Allah). Hal ini disebabkan, makrifat kepada Allah terwujud dengan merenungi tanda-tanda kuasa-Nya, bukan mengetahui atau menyaksikan zat-Nya secara langsung. Begitu juga, benar jika dikatakan ‘Allah ya`lamu kadza’ (Allah tahu sesuatu), tapi keliru jika dikatakan ‘Allah ya`rifu kadza, (Allah mengenal sesuatu)’ sebab kata `arafa hanya digunakan pada pengetahuan terbatas yang diperoleh dengan cara berpikir.[1]

Sementara itu, Khajah Abdullah Anshari mengatakan,”Makrifat adalah mengetahui sesuatu itu sendiri apa adanya.” Dalam komentar atas definisi ini, Abdur Razzaq Kasyani menulis:”Makrifat adalah mengetahui hakikat sesuatu dengan zat dan sifat-sifatnya apa adanya, bukan dengan gambaran tambahan yang serupa dengan sesuatu tersebut. Berbeda dengan ilmu yang berarti pengetahuan atas sesuatu dengan gambaran tambahan pada zat sesuatu tersebut. Jadi, makrifat adalah bersatunya `arif (yang mengenali) dengan ma`ruf (yang dikenali). Artinya, mereka berdua adalah satu, atau zat ma`ruf ada pada `arif. Maka, engkau tak mungkin mengenali sesuatu kecuali melalui bagian darinya yang ada padamu, atau melalui bagian dari dirimu yang ada padanya. Berarti, makrifat adalah ‘mencicipi’, sedangkan ilmu justru adalah ‘hijab.’”[2]

Adapun Imam Khomeini r.a. berpendapat, ”Dalam bahasa, ilmu dikhususkan pada hal-hal general (kulliyat), sedangkan makrifat dikhususkan pada hal-hal parsial (juziyat) dan personal (syakhshiyat). Disebutkan bahwa `arif billah adalah orang yang mengenal Allah dengan penyaksian langsung (musyahadah hudhuriyah), dan `alim billah adalah orang yang mengenal Allah dengan argumen-argumen filosofis.”[3]

Dengan memperhatikan berbagai pendapat di atas, tampaknya makna masing-masing dari dua kata ini (ilmu dan makrifat) bergantung pada cara penggunaannya. Artinya, tak satupun dari makna bahasa dan istilah yang membatasi makna-makna dua kata ini pada hal tertentu. Pada kenyataannya, kata ilmu juga digunakan dalam mengetahui juziyat, dan kata makrifat juga dipakai dalam mengetahui syakhshiyat. Kata ilmu dipakai dalam ilmu hushuli dan juga hudhuri, seperti ayat-ayat Alquran yang menjelaskan ilmu Allah pada makhluk: “Dan Dia mengetahui (ya`lamu) apa yang ada di langit dan bumi.”[4]

Begitu pula halnya kata makrifat. Sebab itu, Khajah Nashir Thusi memaknai makrifat dengan ‘pengenalan’, yang pengenalan ini memiliki banyak tingkatan. Dia menyebut makrifat hudhuri  kepada Allah sebagai puncak makrifat kepada-Nya, yang dalam tahap ini, sang ‘arif akan menjadi fana, sama seperti orang yang terbakar dengan api dan hancur lebur.[5] Dalam sejumlah ayat Alquran, kata makrifat digunakan dalam makrifat hushuli.[6]

Bersambung...