Menyingkap Dua Wajah Kematian (1)
Kematian, sebuah kata yang sering kita hindari, namun ia hadir di sekitar kita tanpa pernah absen. Ia menghampiri yang muda maupun tua, yang sehat maupun sakit, yang miskin maupun kaya. Tidak ada makhluk hidup yang bisa luput dari detik itu: detik di mana napas terakhir dihembuskan, dan waktu bagi seseorang berhenti selamanya. Dunia ini menyaksikan jutaan kelahiran, namun juga menjadi saksi bagi jutaan perpisahan.
Bagi banyak orang, kematian adalah hantu paling mengerikan. Ia identik dengan kehilangan, kehampaan, dan perpisahan tanpa kepastian. Dalam benak sebagian besar manusia, hidup adalah anugerah terbesar; maka kehilangannya dianggap bencana terbesar. Tapi benarkah demikian?
Hidup yang Sementara, Mati yang Abadi
Dunia ini, seindah apa pun, tetaplah persinggahan. Ia penuh kegaduhan, hiruk-pikuk ambisi, kesenangan yang cepat berlalu, dan luka-luka yang menyakitkan. Tak ada yang tinggal abadi. Daun yang kemarin hijau, hari ini gugur. Wajah yang dulu berseri, kini menjadi keriput. Rumah, jabatan, nama besar—semuanya akan ditinggalkan. Inilah hukum dunia: segala sesuatu tunduk pada kefanaan.
Namun, apakah kehidupan ini benar-benar berhenti saat tubuh kembali menjadi tanah? Ataukah justru kehidupan yang sesungguhnya dimulai di balik tirai kematian? Pertanyaan ini bukan sekadar perenungan filsafat, tetapi panggilan dari fitrah manusia untuk mencari makna yang lebih dalam.
Jika kita percaya bahwa manusia adalah makhluk spiritual, bahwa dalam dada kita bersemayam jiwa yang luhur, maka mustahil hidup ini berhenti hanya pada detak jantung. Ada kelanjutan. Ada perjalanan. Ada kehidupan yang lebih luas, lebih sempurna, dan lebih kekal—yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Pandangan Ilahi: Kematian sebagai Perjalanan
Dalam pandangan Ilahi, manusia adalah musafir. Dunia ini hanyalah halte sementara. Kita dilahirkan, dibekali akal dan hati, lalu diperjalankan menuju tujuan besar: pertemuan dengan Tuhan. Dalam al-Qur’an, kehidupan dunia disebut sebagai “mata’ul ghurur”—kesenangan yang menipu. Artinya, jika kita larut di dalamnya tanpa kesadaran, kita akan terjebak dalam ilusi. Namun, bagi mereka yang sadar, dunia ini adalah ladang amal untuk dipanen di akhirat nanti.
Maka, kematian bukanlah akhir. Ia adalah pintu. Ia adalah jembatan antara keterbatasan dan keabadian. Ia seperti malam sebelum fajar menyingsing. Seperti kelahiran kedua yang membawa jiwa manusia ke alam yang lebih tinggi.
Imam Ali bin Abi Thalib a.s. memiliki ungkapan yang menakjubkan: “Anak dunia akan lari dari kematian, sementara anak akhirat akan rindu bertemu dengannya.” Beliau sendiri, saat darah mengalir dari kepalanya karena sabetan pedang musuh dalam sujudnya, berseru, “Demi Tuhan Ka‘bah, aku telah menang!” Inilah kemenangan seorang kekasih Tuhan yang melihat kematian bukan sebagai kekalahan, melainkan titik puncak dari pengabdian.
Bersambung...

