Menyingkap Dua Wajah Kematian (2)
Mengapa Kita Takut Mati?
Jika kematian adalah perjalanan suci, mengapa banyak dari kita merasa takut? Mengapa ia menjadi sumber kecemasan?
Ketakutan itu lahir karena kita hanya mengenal wajah pertama dari kematian: wajah yang dingin dan menakutkan. Kita melihat tubuh yang terbujur, air mata yang tumpah, dan liang lahat yang sunyi. Kita lupa bahwa ada wajah kedua: wajah penuh cahaya dan harapan. Ia adalah tangan kasih Ilahi yang menyambut hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
Ketakutan terhadap kematian bukan karena kematian itu sendiri, tetapi karena ketidaktahuan kita. Seperti anak kecil yang takut tidur karena tidak tahu bahwa tidur adalah istirahat dan ketenangan. Tapi bagi mereka yang berilmu, yang mengenal Tuhan, kematian bukanlah teror, melainkan pelukan hangat dari Kekasih Sejati.
Dr. Carrel, seorang pemikir modern, menyatakan bahwa agama lebih mampu menenangkan manusia dalam menghadapi kematian dibanding ilmu pengetahuan. Sains hanya berbicara tentang detak jantung, gelombang otak, dan degradasi sel. Tapi agama membicarakan jiwa, cahaya, surga, rahmat, dan kehidupan kekal.
Kisah Sahabat Imam Ali Hadi
Dalam sejarah, ada kisah indah dari Imam Ali al-Hadi a.s. Beliau menjenguk seorang sahabat yang tengah terbaring sakit dan dirundung ketakutan menjelang kematiannya. Imam berkata, “Engkau takut mati karena engkau belum mengenalnya.” Lalu beliau menggambarkan kematian seperti kolam pemandian yang membersihkan tubuh dari kotoran. Kematian, katanya, akan menyucikan ruh dari noda dunia dan membawanya ke taman surga. Mendengar penjelasan itu, sang sahabat tersenyum, lalu membungkus dirinya dengan kafan dan menyambut ajal dengan hati yang tenang.
Dimensi Rohani: Jiwa yang Hidup Meski Tubuh Mati
Manusia tidak hanya terdiri dari tubuh. Ada ruh yang membuatnya berpikir, bermimpi, mencinta, dan berkorban. Inilah dimensi kedua kehidupan—dimensi rohani. Ketika tubuh berhenti bergerak, ruh tetap hidup. Ia akan melihat buah dari amal perbuatannya. Ia akan menyaksikan siapa dirinya yang sejati.
Orang-orang yang hanya hidup untuk materi, akan menganggap mati sebagai akhir segalanya. Hidup mereka menjadi seperti mesin: bekerja, makan, tidur, lalu rusak dan dibuang. Namun, mereka yang hidup dengan kesadaran spiritual, akan memaknai hidup ini sebagai kesempatan mulia untuk mendekat kepada Tuhan.
Mereka inilah para syuhada, para pejuang kebenaran yang tidak gentar mati. Karena bagi mereka, hidup tanpa tujuan lebih menakutkan daripada kematian. Mereka mengorbankan diri demi nilai-nilai suci: keadilan, kebenaran, dan cinta kasih. Jiwa mereka tetap hidup dalam sejarah, bahkan setelah tubuh mereka hancur.
Menyambut Kematian dengan Senyuman
Kematian tidak bisa dihindari, tapi cara kita menyambutnya bisa dipilih. Kita bisa menyambutnya dengan ketakutan, atau dengan ketenangan. Kita bisa menyambutnya dengan tangis, atau dengan senyuman.
Semoga kita termasuk golongan yang menyambutnya dengan damai. Mereka yang telah mempersiapkan bekal, membersihkan hati, dan merindukan pertemuan dengan Sang Maha Pengasih. Mereka yang yakin bahwa dunia hanyalah penjara sementara, dan kematian adalah pintu menuju kebebasan abadi.
Sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur’an:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr: 27–30)

