Dosa Kolektif dan Kehancuran Bangsa: Seruan dari Al-Qur’an dan Ahlulbait (1)
Dalam dunia yang sedang dilanda krisis spiritual, moral, dan sosial, Islam menempatkan manusia bukan sebagai objek pasif dalam sejarah, tetapi sebagai poros perubahan. Setiap individu bukan sekadar bagian dari arus besar sejarah, melainkan subjek aktif yang memiliki tanggung jawab ilahiah untuk menentukan arah zaman. Dalam pandangan Al-Qur’an dan Ahlulbait as3, setiap amal manusia—baik perorangan maupun kolektif—meninggalkan dampak riil terhadap masyarakat. Dosa bukan hanya perkara akhirat, melainkan juga menjadi sebab langsung bagi krisis dunia.
Amal Manusia dan Hukum Perubahan dalam Islam
Tidak seperti teori-teori perubahan sosial Barat yang menitikberatkan pada faktor geografi, ekonomi, atau iklim, Islam menegaskan bahwa perubahan sejati berasal dari dalam jiwa manusia. Keberkahan atau kebinasaan suatu umat tidak ditentukan oleh faktor luar, tetapi oleh sikap batin mereka terhadap kebenaran dan keadilan.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS Ar-Ra’d [13]: 11)
Ayat ini bukan sekadar kalimat motivasi. Ia adalah prinsip universal yang disebut sebagai sunnatullah—hukum tetap Allah yang berlaku lintas zaman dan peradaban. Dalam sistem ini, dosa memiliki dampak sosial yang menghancurkan, dan takwa menjadi sumber keselamatan.
Dosa Kolektif dan Kebinasaan Umat
Al-Qur’an menyajikan sejarah sebagai cermin dan peringatan. Berbagai umat terdahulu—seperti kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum Luth—tidak dibinasakan karena lemahnya teknologi atau kurangnya intelektualitas, melainkan karena akumulasi dosa dan penolakan terhadap risalah. Ketika umat secara kolektif memilih kebatilan, maka sunnatullah berlaku: kehancuran menyapu mereka, meskipun mereka memiliki kekuasaan dan kekayaan.
Allah berfirman:
“Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan berlakunya sunnatullah yang sudah berlaku atas orang-orang yang terdahulu…”
(QS Fathir [35]: 43)
Dalam konteks lain, ancaman terhadap para penyebar fitnah dan kaum munafik di Madinah ditegaskan sebagai peringatan universal:
“Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum-(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”
(QS Al-Ahzab [33]: 60–63)
Nikmat yang Dicabut karena Dosa
Salah satu bentuk sanksi sosial dari dosa adalah hilangnya nikmat. Dalam Islam, nikmat bukanlah hak milik tetap, melainkan amanah. Ketika umat berlaku lalai, kufur nikmat, dan membangkang terhadap nilai-nilai keadilan, maka nikmat tersebut dicabut, diganti dengan krisis dan penderitaan.
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS Al-Anfal [8]: 53)
Imam Ja’far al-Shadiq as menegaskan:
“Allah tidak mencabut sebuah nikmat dari seorang hamba, kecuali karena dosa yang ia perbuat.”
(Al-Kāfī, 3:375)
“Allah menetapkan secara pasti bahwa nikmat tidak akan dicabut kecuali karena dosa yang menjadikannya pantas untuk dicabut.”
(Al-Kāfī, 3:376)
Begitu pula, Imam Ali as memperingatkan:
“Jika kamu telah sampai ke tepi sebuah nikmat, maka janganlah kamu membuat lari tepi yang lain karena kurangnya bersyukur.”
(Nahj al-Balāghah, Syarh Al-Faydh, hlm. 1083)
Bersambung...

