Geopolitik Arbain: Manusia, Makna, dan Perlawanan (2)
Apa yang menjadikan Arbain bukan sekadar ritual? Mengapa langkah-langkah ini mengguncang hati musuh-musuh Islam?
Karena Arbain adalah geopolitik spiritual. Di jalan Karbala, tiga unsur utama geopolitik berpadu: geografi, politik, dan kekuatan umat. Geografi perlawanan membentang dari Najaf ke Karbala. Politik tercermin dari kesetiaan umat kepada garis Imamah dan Wilayah. Dan kekuatan nyata terlihat dari kemampuan mobilisasi jutaan jiwa tanpa instruksi negara, tanpa propaganda korporat, tanpa iming-iming duniawi.
Ziarah Arbain adalah deklarasi diam-diam bahwa umat ini masih hidup, masih sadar, dan siap bergerak. Ia menciptakan keunggulan kompetitif yang tak bisa ditiru oleh dunia Barat atau musuh-musuh Islam — yakni massa umat yang terorganisir bukan karena kepentingan politik duniawi, tapi karena cinta, iman, dan visi eskatologis.
Maukib: Ekonomi Ikhlas, Masyarakat Madani
Sepanjang jalan dari Najaf ke Karbala, ribuan maukib (posko pelayanan) didirikan oleh rakyat biasa. Bukan oleh negara, bukan oleh korporasi. Mereka menyajikan makanan, obat-obatan, tempat istirahat, bahkan memijat kaki para peziarah — semuanya gratis, dengan penuh cinta. Ini adalah model peradaban Islam: ekonomi berbasis ikhlas, masyarakat berbasis pelayanan, dan ukhuwah yang tak dibatasi suku atau bangsa.
Dalam suasana seperti ini, manusia menemukan kembali identitasnya. Ia bukan sekadar konsumen duniawi, melainkan pelayan Tuhan dan saudara-saudaranya. Tak ada lagi perlombaan harta, tapi perlombaan dalam memberi. Tidak ada lagi dominasi ego, yang ada hanyalah “Siapa yang lebih banyak berkhidmat kepada peziarah Husain?”
Arbain dan Kesadaran Politik Umat
Ziarah Arbain juga menjadi ladang pertukaran gagasan, pengetahuan, dan narasi perlawanan. Di sepanjang perjalanan, umat Islam dari berbagai negara saling berdiskusi, berbagi informasi, menguatkan solidaritas, dan menyatukan visi. Ini adalah madrasah politik umat di lapangan terbuka. Tak heran jika Imam Khomeini pernah menekankan pentingnya budaya Asyura dalam membentuk umat yang sadar dan militan.
Di era ketika media global membungkam penderitaan umat, khususnya atas kezaliman Zionis atas rakyat Palestina, Arbain menjadi panggung tandingan. Ia memperlihatkan bahwa umat Islam belum mati rasa. Ia adalah tangisan kolektif atas darah yang tertumpah — bukan hanya di Karbala, tapi juga di Gaza.
Arbain dan Kebangkitan Spiritualitas
Namun di balik geopolitik dan kesadaran politik itu, Arbain tetaplah sebuah ritual spiritual. Dalam lelahnya kaki dan panasnya siang, dalam airmata dan doa, para peziarah menemukan ketinggian ruhani yang tak bisa dibeli dengan apapun. Setiap luka di kaki adalah saksi cinta, setiap tetes keringat adalah air mata rindu kepada Imam.
Dan dalam keheningan malam di Karbala, ketika jutaan jiwa bersimpuh di dekat makam Imam Husain as, dunia pun menjadi sunyi. Hanya ada satu suara: “Labbaik ya Husain…”

