Satya
“Truth is not comfortable; it is the fire that burns the illusions we cradle.”
Manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencari tempat bernaung dari ketidakpastian. Kenyamanan, dalam segala bentuknya, adalah pelarian halus dari keterbukaan terhadap realitas yang tidak selalu ramah. Di sinilah paradoks itu lahir: semakin kita mencintai kenyamanan, semakin kita menolak kebenaran. Sebab kebenaran bukanlah bantal empuk tempat kita berbaring; ia adalah cermin yang memaksa kita menatap luka, keterbatasan, dan ketelanjangan eksistensi. Dalam ketegangan ini, terlihat bahwa kenyamanan bukan sekadar kondisi fisik, melainkan konstruksi mental yang menyingkirkan apa pun yang mengganggu rasa aman. Dan di balik itu, tersembunyi sebuah penolakan yang dalam—penolakan terhadap kenyataan yang menuntut keberanian untuk melihat apa adanya.
Orang yang mencintai kenyamanan membangun benteng dari kebiasaan, sistem nilai yang tak pernah digugat, dan rutinitas yang membius. Namun, kebenaran tidak tinggal di dalam benteng itu; ia mengetuk pintu dengan membawa badai. Hubungan antara kenyamanan dan kebencian pada kebenaran bukanlah kebetulan, tetapi konsekuensi logis dari psikologi manusia. Kenyamanan menciptakan zona di mana tidak ada tantangan, dan di situlah kebenaran menjadi ancaman. Bukan karena kebenaran itu kejam, tetapi karena ia menuntut transformasi. Orang yang menolak diguncang akan selalu membenci suara yang memanggilnya keluar.
Dalam ruang batin manusia, kenyamanan sering kali menjadi topeng dari ketakutan terdalam. Ada rasa panik eksistensial yang tersembunyi: kesadaran akan kefanaan, akan rapuhnya makna yang kita susun. Dari sini muncul kebutuhan untuk menutup mata. Kenyamanan menawarkan anestesi, dan ketika anestesi itu bekerja, kebenaran tampak seperti racun. Inilah sebabnya mengapa sebuah masyarakat yang terlalu mencintai kestabilan sering kali justru melahirkan kebisuan moral. Ketika rasa aman dijadikan nilai tertinggi, kebenaran akan menjadi pengacau yang harus disingkirkan.
Kenyamanan juga memiliki wajah kolektif. Ia membentuk sistem sosial yang lebih peduli menjaga harmoni semu daripada menggali realitas. Dalam dunia yang mengutamakan kesenangan dan kestabilan, kebenaran menjadi subversif. Ia mengganggu keteraturan, mengancam struktur yang sudah mapan. Kenyamanan sosial, dalam bentuk utopia buatan, menuntut kepatuhan, bukan pencarian. Maka tidak heran jika kebenaran dihadapi bukan dengan rasa ingin tahu, tetapi dengan kebencian. Bukan karena manusia tidak mengenalnya, tetapi karena kebenaran mengingatkan pada sesuatu yang telah diputuskan untuk dilupakan: kebebasan untuk menanggung ketidakpastian.
Namun, ada sesuatu yang lebih dalam. Kebencian pada kebenaran lahir bukan hanya dari rasa takut, tetapi juga dari rasa kehilangan identitas yang melekat pada kenyamanan. Ketika kenyamanan menjadi pusat hidup, diri pun menyatu dengannya. Kebenaran yang datang menghancurkan kenyamanan tidak hanya dianggap musuh, tetapi juga pembunuh eksistensi. Mengguncang kenyamanan berarti meruntuhkan bangunan ego yang dibangun di atasnya. Di sinilah tragedinya: orang tidak sekadar menolak kebenaran, mereka melawannya dengan kebencian karena kebenaran mengancam membongkar diri yang mereka kenal.
Bersambung...

