Bentuk Hubungan Allah Sesuai Pandangan Tauhid (1)
Dengan melihat pandangan-pandangan tauhid yang dalam ini, maka bentuk jalinan hubungan manusia dengan Allah akan jadi sangat mendalam. Sebab, pertama, manusia adalah manifestasi utama Allah di antara para makhluk-Nya. Makna statusnya sebagai khalifah Allah akan berbeda dengan pemahaman perdana akan hal ini; kedua, dia adalah hamba Allah yang Mahaesa Mutlak dan selalu bersamanya; ketiga, kembalinya manusia kepada Allah akan memiliki makna lain. Bukan hanya berarti bahwa ada dunia lain yang bernama kiamat (atau nama lain), yang di sana manusia akan memperoleh ganjaran. Meski makna seperti ini benar, namun makna hakiki “kembali kepada Allah” adalah, bahwa Dia akan ‘menampakkan diri sepenuhnya’ bagi orang yang telah menempuh jalan penghambaan sepenuhnya. Sehingga manusia akan tahu bahwa Allah adalah Kebenaran Mutlak dan status kebenaran semua tanda-tanda kuasa Allah berasal dari-Nya. Menurut Al-Quran, hakikat ini akan diketahui semua makhluk saat kiamat terjadi.[1]
Ini adalah satu sisi dari makrifat tauhid Al-Quran yang disampaikan dalam beragam penjelasan, sesuai dengan tingkat nalar manusia. Kendati hanya ada satu hakikat dan semua ragam penjelasan Al-Quran merujuk pada satu hakikat itu, namun tiap orang bisa memahaminya sesuai kadar nalarnya. Jika dia berupaya untuk meraih hakikat itu (tapi tak bisa menjangkaunya), maka ia akan dimaklumi. Bila ia mengamalkan konsekuensinya, ia akan memperoleh sejumlah hasil, meski ia tidak mendapatkan hasil dari meraih hakikat tersebut.
Tingkat-tingkat Penjelasan Tauhid Aimmah as
Dengan mencermati hadis-hadis para imam Ahlul Bait, khususnya perihal makrifat yang berkaitan dengan akal dan keyakinan, kita akan memahami bahwa mereka sangat memerhatikan tingkat nalar audiens saat menjelaskan sesuatu. Oleh karena itu, mereka berdialog dengan berbagai kalangan, seperti kaum ateis,[2] penyembah dua tuhan,[3] kaum Yahudi,[4] muslimin yang keyakinan mereka bernuansa syirik (seperti mujassimah),[5] pengikut paham jabr atau tafwidh,[6] mereka yang percaya bahwa sifat dzati Allah terpisah dari zat-Nya, atau yang meyakini tidak adanya sifat kamaliyah (kesempurnaan) bagi-Nya.[7] Aimmah as menyanggah pandangan-pandangan mereka dengan argumen yang sesuai nalar mereka.[8]
Meski hakikat-hakikat ini dijelaskan Aimmah as secara sekilas, di saat yang sama, kepada orang-orang yang punya nalar mumpuni, mereka juga menjelaskan hakikat-hakikat ini dengan keterangan mendalam tanpa dibarengi istilah-istilah filsafat atau irfan. Kendati belakangan, istilah-istilah khusus ini diambil dari hadis-hadis Aimmah as tersebut.
Berikut ini adalah contoh bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan makrifat Ilahi kepada pengikutnya,
Suatu hari, seorang Arab Badui menemui Rasulullah SAW dan berkata, ”Wahai Rasulullah, ajarkan ilmu-ilmu aneh kepadaku.”
Beliau bersabda, ”Apa yang telah kau perbuat pada asas ilmu, hingga kau bertanya soal ilmu-ilmu aneh?”
Orang itu kembali bertanya, ”Wahai Rasulullah, apa asas ilmu itu?”
Beliau menjawab, ”Mengenal Allah dengan cara yang benar.”
“Bagaimana caranya?”
“Yaitu dengan kau mengenal-Nya dan yakin bahwa Dia tak punya padanan dan lawan. Kau yakin bahwa Dia wahid, ahad, Lahir, Batin, Awal dan Akhir, dan tiada sekutu bagi-Nya. Inilah makrifat Allah yang sebenarnya.”[9]
Ketika Imam Sajjad as ditanya tentang tauhid, beliau menjawab, ”Allah tahu bahwa di akhir zaman akan muncul kaum yang berpikiran mendalam. Maka Dia menurunkan surah At-Tauhid dan enam ayat pertama Al-Hadid. Siapa pun yang memaknai tauhid selain itu (yang terkandung dalam dua surah tersebut), niscaya ia akan binasa.”[10]
Selain menerangkan soal pembuktian wujud Allah, keesaan-Nya, sifat-sifat kesempurnaan, serta penafian sifat-sifat kekurangan dan penambahan di luar zat (zaidah), Aimmah as juga menyampaikan penjelasan mendalam perihal keesaan mutlak Ilahi, asma-asma, dan sifat-sifat-Nya. Demi memperoleh makrifat yang lebih besar dan mengetahui hubungannya dengan irfan praktis, sebagian dari penjelasan-penjelasan itu akan kami singgung.
Selain mengenalkan Allah dengan menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya, Aimmah as juga mengenalkan Allah secara langsung dan menerangkan kesempurnaan zati dan derajat-derajat perbuatan-Nya. Dari satu sisi, Aimmah as menyebut pembuktian wujud Allah sebagai hal yang gamblang.[11] Mereka berkata, ”Para makhluk tidak menghendaki selain Allah.”[12] Dari sisi lain, mereka mengatakan, ”Allah bisa diketahui melalui akal dan dengan akal pula hujjah-Nya bisa dibuktikan.”[13] Saat mengenalkan Allah, mereka berkata, ”Tiada batas yang menjadi akhir bagi-Nya.”[14]
Bersambung...

