Tingkat-Tingkat Makrifat Manusia dalam Al-Qur’an (1)
Setiap manusia datang ke dunia dengan tangan kosong: tanpa ilmu, tanpa pengalaman, hanya dengan potensi yang luar biasa. Al-Qur’an mengingatkan, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, lalu Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78).
Ayat ini menjadi titik awal pembicaraan kita tentang makrifat—pengenalan manusia terhadap Allah. Semua potensi itu sudah Allah anugerahkan, namun keberhasilan kita untuk mencapai pengenalan sejati bergantung pada bagaimana kita memanfaatkannya.
Inilah fondasi pembahasan makrifat: pengenalan bertahap terhadap Allah yang tumbuh sesuai cara kita menggunakan anugerah pendengaran, penglihatan, dan hati.
Sayangnya, tidak semua orang menggunakan anugerah ini dengan benar. Ada yang mengabaikannya, ada pula yang menyalahgunakannya. Al-Qur’an dengan tegas menegur: “Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
Peringatan ini bukan sekadar ancaman, tetapi cermin bagi kita. Al-Qur’an menegur mereka yang tidak memakainya: punya hati tetapi tidak dipakai memahami, punya mata namun tak melihat tanda-tanda-Nya, punya telinga tetapi enggan mendengar kebenaran. Gambaran keras “seperti ternak, bahkan lebih sesat” bukan untuk menghakimi, melainkan membangunkan kita dari kelalaian. Pertanyaannya sederhana namun menusuk: sejauh mana indera dan akal kita benar-benar dipakai untuk mendekat?
Manusia, Khalifah di Bumi
Al-Qur’an mengangkat derajat manusia begitu tinggi: “Aku mengangkat khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30).
Sebagai khalifah, manusia bukan hanya mengelola bumi, tetapi juga menjadi representasi nilai-nilai Ilahi. Keistimewaan manusia bahkan melampaui malaikat, karena Allah mengajarkan kepada Nabi Adam seluruh asma—pengetahuan dan hakikat yang tidak dimiliki malaikat. Inilah mengapa malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam (QS. Al-Baqarah: 31–34).
Makna sujud malaikat kepada manusia bukanlah pemujaan, melainkan pengakuan atas potensi luhur yang ada pada diri manusia. Potensi ini hanya akan bermakna jika diarahkan menuju tujuan penciptaannya: Allah berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya engkau menuju Tuhanmu dengan jerih payah, dan akan bertemu dengan-Nya.” (QS. Al-Insyiqaq: 6).
Tingkatan Makrifat : Dari Iman Hingga Muqarrabin
Makrifat tidak tercapai dalam semalam. Ia bertumbuh seiring kesungguhan kita memanfaatkan potensi yang ada. Al-Qur’an menyebut beberapa tingkatan spiritual yang menggambarkan kualitas pengenalan manusia kepada Allah.
1. Iman dan Takwa
Ini adalah tahap dasar. Iman adalah pengakuan dalam hati, tapi kepercayaan yang menggerakkan laku. Takwa adalah kewaspadaan batin: sadar bahwa setiap langkah diawasi, setiap pilihan berdampak. Orang bertakwa menata agenda, pergaulan, dan konsumsi informasi dengan filter nurani. Ia belajar menahan diri, karena tidak semua yang menarik itu bermanfaat. Iman dan takwa menjadi bekal sekaligus pagar agar kita tidak tergelincir.
Bersambung...

