Tingkat-Tingkat Makrifat Manusia dalam Al-Qur’an (2)
2. Shalihin
Naik setingkat, kita temukan shalihin, Shalihin adalah orang-orang saleh yang hidupnya selaras dengan ajaran Allah. Al-Qur’an menyebut para nabi termasuk dalam golongan ini, tetapi juga membuka peluang bagi siapa pun untuk mencapainya. Kesalehan bukan sekadar ibadah ritual, melainkan juga akhlak dan kontribusi sosial.
3. Shiddiqin
Di atasnya ada shiddiqin, para pembenar yang teguh. Mereka tidak sekadar tahu yang benar, tetapi berani berdiri di pihak benar, walau berbiaya. Kejujuran mereka mengalir dari dalam: kata selaras perbuatan, niat menyatu dengan amal. Pada tahap ini, makrifat melahirkan keberanian moral. Mereka tidak mudah dibeli oleh popularitas atau fasilitas, sebab pusat gravitasi jiwanya telah berpindah ke ridha Allah.
4. Muqarrabin
Tingkatan ini adalah puncak, mereka yang “didekatkan” kepada Allah. Al-Qur’an menggambarkan, “Adapun jika dia termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman, rezeki, dan surga kenikmatan.” (QS. Al-Waqi’ah: 88–89).
Dalam surah yang sama disebutkan, mereka akan minum dari mata air Tasnim—simbol kedekatan yang intim dan murni dengan Sang Pencipta.
Makrifat yang Memengaruhi Kehidupan
Makrifat bukanlah sekadar pengetahuan teoretis. Semakin tinggi tingkat pengenalan seseorang kepada Allah, semakin besar pula dampaknya pada cara ia hidup. Orang beriman yang bertakwa akan menjaga lisannya, amalnya, dan hubungannya dengan sesama. Shalihin akan menebar manfaat dan kebaikan. Shiddiqin akan menjadi teladan kejujuran dan keberanian. Muqarrabin akan memancarkan ketenangan dan cinta Ilahi, yang terasa oleh siapa pun di sekitarnya.
Makrifat mengubah pandangan kita terhadap dunia. Apa yang dulu tampak penting bisa menjadi remeh, dan apa yang dulu diremehkan menjadi berharga. Dunia tidak lagi menjadi tujuan, tetapi sarana untuk sampai pada-Nya.
Perjalanan menuju makrifat penuh tantangan. Godaan dunia, dorongan nafsu, dan bisikan setan bisa mengaburkan tujuan kita. Di sinilah pentingnya kesadaran diri (muraqabah) dan upaya terus-menerus (mujahadah).
Seperti pendakian gunung, semakin tinggi kita naik, semakin berat langkahnya, tetapi pemandangan yang terlihat akan semakin luas dan indah.
Al-Qur’an memberi kita peta perjalanan dari nol pengetahuan hingga kedekatan sejati dengan Allah. Setiap orang memiliki potensi untuk menempuh jalan ini. Iman dan takwa menjadi pintu masuk, lalu kesalehan, kejujuran, hingga akhirnya mencapai derajat orang-orang yang didekatkan.
Pertanyaannya: sejauh mana kita sudah melangkah di jalan itu? Apakah potensi pendengaran, penglihatan, dan hati yang Allah beri sudah kita arahkan menuju-Nya? Ataukah masih terjebak pada hal-hal yang melalaikan?
Pada akhirnya, tujuan perjalanan sudah jelas: “Wahai manusia, sesungguhnya engkau menuju Tuhanmu dengan jerih payah, lalu engkau akan bertemu dengan-Nya.” Kalimat ini bukan ancaman, melainkan undangan. Semua orang bergerak, entah sadar atau tidak. Bedanya, orang yang bermakrifat bergerak dengan sadar, merawat kualitas langkah, dan menikmati perjumpaan kecil dengan-Nya di sepanjang jalan. Semoga Allah menuntun kita menjadi hamba-hamba yang bersyukur, membersihkan hati dari kesombongan, menumbuhkan kejujuran, dan mendekatkan langkah hingga termasuk orang-orang yang didekatkan.

