Imam Ridha as: Syahid di Jalan Kebenaran, Hidup dalam Cinta Abadi (2)
Akhlak dan Kehidupan Spiritual Imam
Meski digiring ke istana dan dijadikan “simbol politik,” Imam Ridha as tidak pernah tunduk kepada ambisi duniawi. Beliau tetap hidup sederhana, dekat dengan rakyat jelata, bahkan dikenal sering duduk dan makan bersama para budak. Ketika seorang lelaki di pemandian umum meminta beliau untuk memijat tubuhnya—tanpa tahu siapa beliau—Imam Ridha as menuruti permintaan itu. Setelah orang-orang mengabarkan bahwa yang memijat adalah putra Rasulullah, Imam justru menenangkan lelaki itu agar tidak malu. [Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Talib, jilid 4]
Dalam ibadah, beliau adalah teladan. Diriwayatkan bahwa beliau terbiasa salat seribu rakaat dalam semalam, dan setiap kali membaca Al-Qur’an, beliau menangis dengan penuh kekhusyukan. Pakaian yang dipakainya untuk ibadah seribu malam pernah beliau hadiahkan kepada penyair terkenal, Di‘bil al-Khuza‘i, dengan pesan agar dijaga baik-baik. [Shaykh al-Saduq, Uyun Akhbar al-Ridha, jilid 2]
Perjuangan Ilmu dan Dakwah
Imam Ridha as membuka majelis ilmu baik di rumah maupun di masjid Marv. Para ulama, filosof, dan ahli agama dari berbagai latar mendatangi beliau untuk berdialog. Namun semakin berkembang majelis itu, semakin besar pula kecemasan al-Ma’mun. Majelis ilmu itu pun akhirnya ditutup paksa. [Ya‘qubi, Tarikh al-Ya‘qubi, jilid 2]
Imam juga banyak berbicara tentang kesehatan, kebersihan, dan pengobatan. Risalah emas (al-Risalah al-Dzahabiyah) yang beliau tulis untuk al-Ma’mun berisi panduan hidup sehat dan masih dipelajari hingga kini. Imam tidak hanya menjadi teladan rohani, tetapi juga dokter jiwa dan raga umat. [Al-Risalah al-Dzahabiyah, ed. al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar]
Dalam soal imamah, Imam Ridha as tegas menolak ber-taqiyyah. Ia menegaskan di hadapan umat bahwa kepemimpinan sejati berada pada dirinya dan para imam dari keturunan Nabi saw. Sikap tegas ini menjadi cahaya yang membongkar kedok politik Abbasiyah. [Al-Mufid, al-Irsyad]
Maqam Suci Masyhad
Setelah syahid, Imam Ridha as dimakamkan di rumah Hamid bin Qahthabah di daerah Sanabad, dekat Thus. Dari tempat sederhana itu, lahirlah Haram Imam Ridha yang kini berdiri megah di kota suci Masyhad, Iran. Setiap tahun, jutaan peziarah dari seluruh dunia mendatanginya. Haram itu menjadi pusat spiritual, ilmu, dan perlawanan terhadap kezaliman, sekaligus simbol cinta abadi kaum Muslimin kepada Ahlulbait. [Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 49]
Peninggalan dan Warisan Imam
Selain Risalah Dzahabiyah, sejumlah karya disandarkan kepada Imam, seperti ‘Uyun Akhbar al-Ridha, Shahifah al-Ridha, dan al-Fiqh al-Radhawi. Meski sebagian atribusinya diperdebatkan, riwayat-riwayat beliau tetap menjadi khazanah utama dalam ajaran Islam, mencakup akidah, fikih, etika, hingga kedokteran. [Agha Buzurg Tehrani, al-Dzari‘ah ila Tasanif al-Shi‘ah]
Refleksi untuk Umat
Kesyahidan Imam Ridha as adalah simbol benturan abadi antara kebenaran dan kekuasaan zalim. Imam tidak pernah mencari kekuasaan, tetapi kekuasaanlah yang takut pada cahaya kebenaran beliau. Al-Ma’mun, dengan segala kelicikan politiknya, berusaha menyingkirkan Imam. Namun sejarah membuktikan, nama Imam Ridha as tetap harum, sementara al-Ma’mun hanya dikenang sebagai penguasa yang menumpahkan darah suci Ahlulbait. [Sayyid Ja‘far Murtadha al-‘Amili, Shahadat al-Imam al-Ridha]
Hari ini, umat Syiah menziarahi makam Imam Ridha as di Masyhad bukan hanya untuk meratap, melainkan untuk memperbarui janji setia: setia pada kebenaran, menolak kezaliman, dan menjaga ajaran Islam sebagaimana diwariskan Rasulullah saw melalui Ahlulbaitnya

