Peristiwa Ghadir: Deklarasi Wilayah dan Puncak Risalah (1)
Peristiwa Ghadir bukan sekadar fragmen sejarah; ia adalah jantung dari peradaban Islam yang dibangun di atas fondasi kepemimpinan ilahi. Dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Rasulullah saw tidak hanya mengucapkan salam perpisahan kepada umatnya, tetapi juga menyampaikan perintah terbesar dalam sejarah Islam: penunjukan Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai wali, pemimpin, dan khalifah sepeninggalnya. Ghadir Khum menjadi saksi atas deklarasi langit, tempat turunnya ayat penyempurnaan agama, dan tonggak bagi kaum Syiah dalam merayakan Hari Wilayah setiap tahunnya sebagai simbol kesempurnaan Islam.
Awal Perjalanan: Menuju Haji Wada’
Pada bulan Dzulhijjah tahun ke-10 Hijriah, Rasulullah saw berangkat menunaikan ibadah haji terakhirnya, yang kelak dikenal sebagai Haji Wada’. Ribuan Muslim dari berbagai penjuru jazirah Arab turut serta, menjadikan haji ini sebagai simbol persatuan umat Islam. Imam Ali as, yang saat itu sedang berada di Yaman, segera menyusul Nabi ke Mekah setelah mendengar kabar keberangkatan beliau (Thabrisi, Ihtijaj, jld. 1, hlm. 56; Mufid, al-Irsyad, jld. 1, hlm. 171).
Titah Langit: Turunnya Ayat Tabligh
Setelah menyelesaikan manasik haji, dalam perjalanan pulang ke Madinah, rombongan Rasulullah saw sampai di sebuah tempat bernama Ghadir Khum pada 18 Dzulhijjah. Di sinilah turun wahyu ilahi yang memerintahkan penyampaian pesan penting:
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau lakukan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah akan melindungimu dari manusia.” (QS. Al-Maidah: 67)
Rasulullah saw segera memerintahkan rombongannya untuk berhenti. Mereka yang sudah melewati Ghadir dipanggil kembali, dan yang tertinggal diperintahkan menyusul agar seluruh jamaah berkumpul di tempat itu (Nasai, Sunan al-Kubra, jld. 5, hlm. 135).

