Ketika Surga Menebar Aromanya Melewati Sains (6)
4. Argumen Thomas Aquinas tentang Jiwa sebagai Bentuk Substansial Tubuh (Filsafat Abad Pertengahan)
Menggabungkan Aristoteles dengan teologi Kristen, Aquinas berargumen bahwa jiwa manusia adalah forma substantialis (bentuk substansial) dari tubuh. Namun, karena jiwa manusia memiliki kapasitas untuk memahami realitas universal yang non-materi (seperti Tuhan dan kebenaran abstrak), ia harus bersifat immaterial dan subsisten.
Karena immaterial, jiwa tidak dapat hancur seperti benda materi dan karenanya abadi. Ini menjawab skeptisisme materialis: otak (materi) adalah alat yang digunakan jiwa (yang immaterial) untuk beroperasi di dunia fisik. Kerusakan otak (seperti pada Alexander) tidak memusnahkan jiwa, hanya melepaskannya.
5. Argumen Ibn Sina (Avicenna) tentang Manusia Terbang (Filsafat Islam)
Ibn Sina merancang sebuah argumen pemikiran yang brilian: “Manusia Terbang” (Flying Man). Bayangkan seorang manusia diciptakan dewasa secara tiba-tiba di udara, dengan indra tertutup dan tidak menyentuh tubuhnya sendiri. Meski demikian, ia akan tetap menyadari eksistensi dirinya sendiri. Ini membuktikan bahwa kesadaran-diri (self-awareness) tidak bergantung pada persepsi tubuh atau dunia fisik.
Esensi jiwa adalah kesadaran murni yang independen. Pengalaman Alexander di luar tubuh (Out-of-Body Experience/OBE) adalah aktualisasi dari eksperimen pemikiran ini; kesadarannya tetap ada dan bahkan lebih jernih ketika terlepas sepenuhnya dari input sensorik dan tubuh fisiknya yang rusak.
6. Argumen Al-Ghazali tentang Kebangkitan Jasmani dan Ruhani (Filsafat Islam)
Imam Al-Ghazali, dalam The Incoherence of the Philosophers, membela doktrin kebangkitan jasmani. Ia berargumen bahwa jika Tuhan sanggup menciptakan manusia dari ketiadaan pada kali pertama, tidak ada alasan logis yang menghalangi-Nya untuk mengumpulkan kembali atom-atom tubuh yang telah tercerai-berai untuk dibangkitkan.
Keyakinan ini memperkuat konsep bahwa kehidupan setelah kematian bukanlah suatu abstraksi, tetapi kelanjutan personal yang nyata. Ini memberi kerangka teologis bagi klaim Alexander bahwa “pengalaman manusia terus berlanjut setelah kubur”.
7. Argumen Immanuel Kant tentang Postulat Akal Praktis (Filsafat Barat Modern)
Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat mengetahui (theoretically reason) kehidupan setelah mati, tetapi kita harus mempercayainya (practical reason) sebagai postulat akal praktis. Untuk dunia yang adil secara moral, di mana kebajikan pada akhirnya sepadan dengan kebahagiaan (summum bonum), harus ada kehidupan setelah kematian di mana jiwa abadi dapat mencapainya. Keyakinan ini adalah fondasi moralitas.
Transformasi Alexander dan banyak penyintas NDE lainnya—menjadi lebih penuh kasih dan kurang takut—menunjukkan bagaimana pengalaman langsung tentang “surga” dapat memenuhi postulat Kantian ini, memberikan dasar moral yang dalam bagi perilaku manusia.
Bersambung...

