Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Pengorbanan yang Abadi: Sayyidah Khadijah dan Lahirnya Islam (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Menulis sejarah Islam tanpa menyebut nama Sayyidah Khadijah binti Khuwailid (sa) ibarat membangun bangunan tanpa fondasi. Dialah tiang penopang, benteng pertama, sekaligus pelita yang menerangi jalan Rasulullah saw pada saat kegelapan jahiliyyah mengepung dari segala arah. Ia bukan hanya istri Nabi, bukan hanya wanita pertama yang mengikrarkan syahadat, melainkan juga penjaga risalah, pengorban tanpa batas, dan ibu dari generasi suci Ahlulbait (as). Namun, sebagaimana sering diingatkan oleh Imam Ali Khamenei, kemuliaannya kerap tersisih dari narasi sejarah, padahal kedudukannya sejajar dengan para tokoh besar yang membentuk peradaban Islam.

Membongkar Belenggu Jahiliyyah

Sayyidah Khadijah (sa) lahir di tengah masyarakat Arab yang dibelenggu oleh jahiliyyah. Di masa itu, bayi perempuan dipandang sebagai aib sehingga kerap dikubur hidup-hidup. Perempuan diperlakukan layaknya barang yang diwariskan. Hak milik dan martabat pribadi hampir tak dikenal.

Namun, Khadijah (sa) menolak tunduk pada struktur sosial yang merendahkan kaumnya. Dengan kecerdasan dan keuletannya, ia membangun jaringan perdagangan yang melintasi kafilah-kafilah besar Arabia. Riwayat menyebutkan bahwa kafilah dagangnya setara dengan seluruh kafilah Quraisy digabungkan. Keberhasilannya membuat ia digelari Sayyidat Quraisy, Putri Quraisy. Tetapi gelar yang lebih bermakna adalah al-Thahira—Sang Suci—karena kejujurannya yang bersinar di tengah sistem bisnis yang penuh kecurangan.

Jauh sebelum Islam menegaskan hak-hak perempuan, Khadijah (sa) telah menegakkannya. Ia memiliki kekayaan, namun tidak diperbudak oleh kekayaan itu. Ia memiliki kedudukan, namun tidak sombong karenanya. Dengan integritas dan kesucian, ia menegaskan bahwa perempuan dapat menjadi pelaku aktif dalam masyarakat tanpa kehilangan kehormatan dan spiritualitasnya.

Keyakinan yang Lahir dari Kesucian

Peristiwa turunnya wahyu pertama di Gua Hira menjadi titik balik sejarah manusia. Nabi Muhammad saw kembali dengan tubuh bergetar, hatinya diliputi beban yang tak tertanggungkan. Saat itu, siapa yang menjadi tempat kembalinya? Siapa yang menjadi pelabuhan jiwanya? Dialah Khadijah (sa).

Ia tidak menampik pengalaman suaminya sebagai halusinasi. Ia tidak meremehkan bisikan wahyu sebagai mimpi. Sebaliknya, dengan penuh keyakinan ia berkata: “Demi Allah, Dia tidak akan menghinakanmu. Engkau selalu menyambung silaturahmi, menolong yang lemah, berkata jujur, dan membela yang tertindas.” Kata-kata ini lahir dari pengalaman panjang menyaksikan kejujuran Nabi.

Imam Khamenei menegaskan, iman Khadijah (sa) bukan semata karena ikatan rumah tangga, tetapi pilihan sadar dari hati yang suci. Ia menyaksikan sendiri bagaimana suaminya, al-Amin, tak pernah berdusta, sehingga mustahil baginya mengada-ada tentang Allah. Keyakinan ini menjadi penopang moral Nabi saw di saat seluruh masyarakat meragukannya.

Bersambung...