Para Sahabat Nabi saw dan Keutamaan Imam Ali as (1)
Dalam perjalanan sejarah Islam, pembahasan tentang para sahabat Nabi Muhammad saw selalu menjadi topik yang kaya nuansa. Siapa yang dimaksud sahabat? Bagaimana kedudukan mereka? Dan siapa yang paling utama di antara mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak sekadar akademik, melainkan menyentuh akar sejarah, keimanan, dan perbedaan pandangan yang hidup di tengah umat Islam hingga hari ini.
Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi sahabat. Sebagian mengatakan, setiap Muslim yang pernah melihat Nabi saw termasuk sahabat. Sebagian lain mensyaratkan bahwa ia harus meriwayatkan hadis dari Nabi. Ada pula yang menyebut, cukup dengan mendengar khutbah beliau di Arafah, atau melihat Nabi dalam keadaan sudah balig. Sebagian lagi menambahkan syarat harus lama menemani beliau. Meski begitu, pendapat paling masyhur di kalangan para ulama adalah: siapa pun yang pernah melihat Nabi saw dalam keadaan beriman, maka ia termasuk sahabat.
Namun, di antara para sahabat itu, siapakah yang paling utama?
Bagi kalangan Imamiyah dan sebagian ulama Ahlusunah, jawaban mereka jelas: Ali bin Abi Thalib as. Keutamaan ini ditegaskan dalam banyak hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur, hingga mencapai derajat mutawatir—yaitu diriwayatkan oleh begitu banyak perawi sehingga mustahil terjadi rekayasa kebohongan.
Hadis paling terkenal adalah Hadis Ghadir Khum. Dalam peristiwa monumental ini, di hadapan ribuan orang, Rasulullah saw mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib dan bersabda:
“Bukankah aku lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri?”
Para sahabat menjawab: “Benar.”
Beliau melanjutkan: “Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolongnya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
(Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Sunan Tirmidzi)
Bersambung...

