Sayyid Jamal al-Afghani dan Mimpi Besar Persatuan Dunia Islam (4)
4. Filsafat Islam dan Rasionalitas
Salah satu kontribusi besar Jamal al-Afghani adalah menghidupkan kembali tradisi filsafat Islam dalam konteks modern. Ia mendorong murid-muridnya, seperti Muhammad Abduh, untuk membaca karya klasik seperti Avicenna (Ibn Sînâ) dan filsuf Muslim lainnya.
Bagi Jamal, Islam dan akal adalah mitra: keyakinan buta dan taqlid tanpa pemahaman rasional harus digantikan dengan beragama berdasarkan argumentasi dan bukti. Ia menolak interpretasi yang menolak rasio atau menjadikannya subordinat buta terhadap teks semata.
Pemikirannya juga mencakup teori sejarah di mana agama menjadi kekuatan katalis dalam kemajuan manusia. Dalam karyanya ar-Radd ‘ala al-Dahriyyin, ia menentang paham materialisme dan menyatakan bahwa agama menanamkan nilai-nilai luhur kepada manusia untuk mengangkatnya dari kondisi hewani menuju kehidupan bermartabat.
5. Perlawanan terhadap Kolonialisme & Sekularisme
Bagi Jamal al-Afghani, kolonialisme bukan sekadar intervensi politik atau ekonomi, tetapi juga upaya merombak budaya, identitas, dan pikiran umat Islam. Di samping melawan kolonialisme politik, ia juga menolak kolonialisme kultural yang menyebarkan gagasan bahwa budaya Barat adalah standar kemajuan yang “hakiki.”
Ia menentang pemisahan total antara agama dan politik (sebagai bentuk sekularisme), karena menurutnya hal itu melemahkan posisi umat Islam dalam menentukan nasib sendiri. Namun, ia tidak menuntut teokrasi; yang dia inginkan adalah agar umat Islam memahami bahwa politik pun adalah ranah amanah agama.
Gerak perlawanan Jamal inilah yang kemudian memicu reaksi dari kekuatan imperialis dan sekularis. Salah satunya adalah gagasan pemisahan agama dari negara ala Turki (dengan Ataturk) yang kemudian menyusup ke dunia Muslim. Jamal memandang bahwa sekularisme bukan solusi, melainkan alat untuk menyingkirkan pengaruh Islam dari ruang politik dan sosial.
Kesatuan Islam (wahdat al-Islam) adalah salah satu slogan kunci yang Jamal angkat. Bagi dia, umat Islam—kendati berbeda mazhab—harus menunjukkan solidaritas politik dalam menghadapi kolonialisme dan tirani. Kesatuan itu bukanlah homogenisasi mazhab, melainkan aliansi strategis dalam menghadapi tantangan bersama.
Relevansi Pemikiran Jamal al-Afghani Hari Ini
Mengapa kita masih membaca dan membahas Jamal al-Afghani di abad ke-21? Beberapa poin relevansi:
1. Dunia Islam masih menghadapi tantangan kolonialisme baru — dalam bentuk hegemoni budaya, ekonomi, dan ideologi Barat. Gagasan Jamal tentang perlawanan kultural dan “kewajiban politik sebagai agama” sangat relevan.
2. Pecahnya solidaritas antar-mazhab tetap menjadi hambatan dalam kebangkitan Islam kontemporer. Gagasan persatuan Jamal dapat menjadi rujukan strategis.
3. Krisis intelektual di kalangan umat Islam: stagnasi penelitian, kebergantungan terhadap sumber asing, minimnya keberanian berpikir kritis — yang dulu dikritik Jamal — masih terasa di banyak negeri muslim

