Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Hukum Islam: Antara Keteguhan Prinsip dan Fleksibilitas Zaman (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Keseimbangan dalam Syariat

Bayangkan jika hukum Islam hanya berisi aturan-aturan tetap tanpa ruang perubahan. Ia akan cepat usang, tidak mampu menghadapi tantangan zaman, dan akhirnya ditinggalkan. Sebaliknya, jika hukum Islam hanya berisi aturan yang fleksibel, tanpa prinsip tetap, maka ia akan kehilangan ruh dan bisa dipelintir sesuai kepentingan manusia.

Keseimbangan inilah yang membuat Islam berbeda. Prinsipnya teguh, tetapi penerapannya lentur. Ia ibarat pohon kokoh yang berakar kuat di tanah, namun dahan dan rantingnya bisa tumbuh ke segala arah mengikuti cahaya matahari.

Al-Sadr menekankan bahwa keseimbangan ini bukanlah kompromi, melainkan kekuatan Islam itu sendiri. Ia memungkinkan syariat selalu hadir sebagai pedoman hidup yang segar, mampu menjawab kebutuhan manusia kapan pun dan di mana pun.

Islam dan Pandangan Sejarah Manusia

Selain menguraikan hukum, Ayatullah al-Sadr juga mengajak kita memahami pandangan Al-Qur’an tentang perjalanan sejarah manusia. Menurutnya, kehidupan manusia di bumi dapat dibagi menjadi tiga tahap:

1. Tahap Menyusui

Pada tahap ini, manusia masih berada dalam fase awal peradaban. Kehidupan sosial sederhana, penuh ketergantungan pada alam, dan belum berkembang kompleks.

2. Tahap Persatuan

Inilah fase ketika manusia mulai membangun solidaritas, kesadaran kolektif, dan struktur sosial yang lebih mapan. Muncul peradaban, negara, dan tatanan hukum.

3. Tahap Perpecahan dan Disintegrasi

Sejarah menunjukkan bahwa setelah mengalami puncak persatuan, manusia sering terjerumus ke dalam perpecahan. Keserakahan, penindasan, dan perebutan kepentingan melahirkan kehancuran.
Ketiga tahap ini bukan sekadar teori sejarah, melainkan gambaran siklus kehidupan umat manusia. Dengan memahaminya, kita dapat mengerti bagaimana hukum Islam hadir sebagai penuntun di setiap fase: dari masa awal peradaban, masa kejayaan, hingga masa krisis.