Taklid: Apakah Bentuk Feodalisme? (2)
Zamakhsyari Dhofier dalam karyanya Tradisi Pesantren menggambarkan bagaimana otoritas keilmuan dalam Islam sejati bersumber dari penguasaan ilmu dan keteladanan akhlak. Seorang alim dihormati bukan karena kekayaannya, melainkan karena kedalaman pengetahuannya. Otoritas seperti ini bersifat moral dan ilmiah, bukan sosial atau politis. Gus Dur juga pernah menulis bahwa hubungan antara murid dan guru dalam Islam yang sehat adalah hubungan yang memerdekakan. Menurutnya, penghormatan terhadap guru tidak boleh menghapus kebebasan berpikir karena adab dan akal justru harus tumbuh bersama. Dalam pandangan yang sama, KH Sahal Mahfudz menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara adab al ihtirām atau penghormatan dan adab al naqd atau kemampuan menimbang secara kritis. Tanpa keduanya, tradisi keilmuan akan kehilangan vitalitasnya.
Namun, tidak dapat disangkal bahwa dalam praktik sosial, konsep taklid sering disalahpahami. Sebagian orang menganggap taklid sebagai pembenaran bagi sikap pasif dan enggan berpikir. Ada pula yang menjadikannya alasan untuk menolak segala bentuk pertanyaan dan kritik. Dalam kondisi seperti ini, taklid yang sejatinya merupakan jalan menuju pengetahuan justru berubah menjadi bentuk ketertundukan sosial. Di sinilah muncul kesan bahwa taklid identik dengan feodalisme. Padahal yang terjadi bukanlah penyimpangan pada konsep taklid itu sendiri, melainkan pada cara manusia mempraktikkannya.
Taklid yang sejati justru melatih kerendahan hati intelektual. Ia mengajarkan bahwa mengikuti ulama bukan berarti menutup akal, tetapi menuntun akal agar berjalan di bawah cahaya pengetahuan. Dalam sistem ini, seorang alim tidak memerintah, melainkan membimbing, dan seorang murid tidak tunduk, melainkan belajar. Otoritas ilmu menuntut tanggung jawab dua arah, dari yang mengajar untuk berlaku adil dan terbuka, dan dari yang belajar untuk tetap berpikir dan menimbang.
Perbedaan mendasar antara taklid dan feodalisme terletak pada sumber legitimasi dan tujuannya. Feodalisme berorientasi pada kekuasaan dan stabilitas sosial, sementara taklid berorientasi pada kebenaran dan kesinambungan ilmu. Feodalisme menuntut ketaatan mutlak, taklid menuntut pengakuan terhadap keahlian. Feodalisme menumbuhkan ketergantungan, sementara taklid menumbuhkan disiplin dan tanggung jawab. Dalam feodalisme, kritik dianggap ancaman, sedangkan dalam taklid, kritik yang sopan merupakan bagian dari proses belajar.
Karena itu, menyamakan taklid dengan feodalisme sama halnya dengan menyamakan belajar dengan tunduk atau menghormati dengan takut. Yang satu berakar pada pengetahuan, yang lain pada kekuasaan. Dalam sejarah Islam, para ulama besar seperti Al Ghazali dan Fakhruddin ar Razi mengajarkan bahwa akal adalah karunia Ilahi yang harus digunakan, bukan dibungkam. Bahkan dalam Al Qur’an, manusia diajak untuk berpikir, meneliti, dan menggunakan nalar. Prinsip ini menjadi dasar bahwa ketaatan dalam Islam bukanlah bentuk perbudakan, melainkan bentuk kesadaran.
Dengan demikian, taklid bukanlah feodalisme. Ia baru menyerupai feodalisme ketika maknanya tereduksi menjadi ketaatan buta tanpa ilmu dan tanpa tanggung jawab moral. Selama taklid dijalankan dengan kesadaran, dengan niat mencari kebenaran dan menghormati ilmu, maka ia justru menjadi bagian dari peradaban yang memuliakan akal dan akhlak. Seorang alim yang sejati tidak menuntut pengikut, melainkan menumbuhkan pemikir. Seorang penuntut ilmu yang sejati tidak berhenti pada taklid, tetapi menjadikannya jalan menuju pemahaman yang lebih dalam. Dalam keseimbangan inilah Islam menemukan keindahannya, di antara adab dan akal, di antara otoritas dan kebebasan, di antara taklid dan pencarian yang terus hidup

