Manusia dalam Tidur Panjang (1)
Salah satu hadis yang sering dikutip dalam literatur etika, tasawuf, dan filsafat Islam adalah sabda Nabi Muhammad saw:
النَّاسُ نِيَامٌ فَإِذَا مَاتُوا انْتَبَهُوا
“Manusia itu tertidur, ketika mereka mati barulah mereka terbangun.” (Al-Majlisī, Bihār al-Anwār jilid 4, hlm. 43)
Hadis ini menggambarkan kehidupan dunia sebagai kondisi “tidur” panjang, sedangkan kematian merupakan “kebangkitan” menuju kesadaran sejati.
Tidur adalah keadaan sementara. Dalam mimpi, manusia menyaksikan berbagai citra dan pengalaman yang tampak nyata, namun ketika terbangun, ia mendapati semua itu hilang. Analogi inilah yang digunakan Nabi untuk menjelaskan hakikat dunia.
Al-Qur’an menegaskan:
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ
“Ia mengira bahwa hartanya membuatnya kekal.” (QS. al-Humazah [104]: 3)
Manusia kerap terjebak pada ilusi kekekalan duniawi. Namun, pada saat sakaratul maut, ia mendapati tangannya kosong. Semua yang selama ini dipandang permanen ternyata hanyalah bayangan sementara.
Dalam Nahj al-Balāghah, Imam Ali as berkata:
اليومَ عملٌ ولا حسابٌ، وغداً حسابٌ ولا عملٌ
“Hari ini adalah (waktu) amal tanpa hisab, sedangkan esok adalah (waktu) hisab tanpa amal.” (Khutbah 42)
Bersambung...

