Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Bisakah Takdir Kematian Diubah? Rahasia Ajal Hatmi dan Ajal Ghayr Hatmi dalam Pandangan Imam Ali as (1)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam pandangan Islam, kehidupan dan kematian bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan bagian dari sistem ketentuan Ilahi yang berjalan dengan penuh hikmah. Salah satu pembahasan yang menarik dalam teologi Islam, khususnya dalam pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as, adalah konsep tentang dua jenis ajal: ajal hatmi dan ajal ghayr hatmi. Kedua istilah ini menunjukkan adanya dua lapisan takdir dalam kehidupan manusia, yaitu ketentuan yang bersifat pasti dan ketentuan yang masih bisa berubah tergantung pada amal dan kehendak manusia sendiri. Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah menjelaskan perbedaan halus namun sangat mendalam antara dua jenis ajal ini, yang sekaligus mengajarkan kita tentang hubungan antara takdir dan ikhtiar.

Secara bahasa, kata ajal berarti waktu yang telah ditentukan untuk berakhirnya sesuatu, terutama kehidupan makhluk hidup. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman, “Dan setiap umat mempunyai ajal; maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula mendahulukannya.” (QS. Al-A‘raf [7]: 34). Ayat ini menunjukkan bahwa ajal adalah ketetapan yang pasti. Namun, para ulama dan ahli hikmah menafsirkan bahwa ketetapan tersebut memiliki dua tingkat: sebagian bersifat mutlak dan tidak bisa diubah, sedangkan sebagian lainnya bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan amal perbuatan manusia. Imam Ali as menyinggung hal ini dengan penuh kedalaman dalam Nahjul Balaghah, Hikmah ke-374, ketika beliau berkata, “Sesungguhnya ajal itu ada dua: ajal yang pasti (hatmi) dan ajal yang bisa berubah (ghayr hatmi).” Beliau menegaskan bahwa sebagian ketetapan Allah dapat diubah melalui doa, amal baik, dan sebab-sebab tertentu yang telah ditetapkan pula dalam sunnah Ilahi.

Ajal hatmi adalah ajal yang telah ditetapkan secara pasti oleh Allah Swt. dan tidak bisa berubah dalam keadaan apa pun. Ia merupakan keputusan akhir yang tidak bergantung pada sebab-sebab duniawi atau amal manusia. Ajal ini merupakan bagian dari ilmu azali Allah, yang berada dalam “Lauh Mahfuz”, yakni catatan tetap dan tidak mengalami perubahan. Ketika manusia telah mencapai ajal hatminya, maka tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menunda atau mempercepatnya. Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah menggambarkan hakikat ini dengan ungkapan penuh kepasrahan, “Setiap jiwa memiliki ajal yang akan menjemputnya; jika ia lari darinya, ajal itu akan mengejarnya; dan jika ia diam, ajal itu akan mendatanginya.” (Khutbah 122). Dalam kalimat ini, beliau ingin menunjukkan bahwa kematian adalah kepastian Ilahi yang tidak bisa dielakkan. Semua yang hidup akan mati sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan sejak awal penciptaannya.

Sebaliknya, ajal ghayr hatmi adalah jenis ajal yang masih bisa berubah dan bergantung pada amal perbuatan manusia. Ia merupakan takdir yang bersifat “mu‘allaq”, artinya tergantung pada kondisi dan sebab-sebab tertentu. Dalam ilmu kalam, hal ini disebut dengan “bada’”—yakni perubahan pada ketentuan yang tampak di hadapan manusia, meskipun dalam ilmu Allah yang hakiki segala sesuatu telah diketahui. Imam Ali as menegaskan bahwa amal baik dapat memperpanjang umur, sedangkan perbuatan dosa dapat memperpendeknya. Dalam Nahjul Balaghah, beliau menyampaikan, “Silaturahmi menambah umur, dan dosa mempercepat ajal.” (Hikmah 350). Pernyataan ini menegaskan bahwa sebagian panjang-pendeknya umur seseorang berada dalam wilayah kehendak manusia, sejauh manusia itu menggunakan ikhtiarnya untuk menempuh jalan kebaikan atau keburukan.