Bisakah Takdir Kematian Diubah? Rahasia Ajal Hatmi dan Ajal Ghayr Hatmi dalam Pandangan Imam Ali as (2)
Konsep ajal ghayr hatmi memberikan harapan dan makna yang mendalam dalam kehidupan manusia. Ia mengajarkan bahwa takdir bukanlah sesuatu yang kaku dan tanpa ruang gerak. Islam tidak memandang manusia sebagai makhluk pasif yang hanya menunggu nasib, tetapi sebagai hamba yang memiliki peran aktif dalam menentukan arah hidupnya melalui amal saleh, doa, dan kebajikan. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa doa yang tulus, sedekah yang ikhlas, dan amal baik yang dilakukan dengan niat murni dapat menolak bala dan menunda datangnya kematian. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Tiada yang dapat menolak takdir kecuali doa, dan tiada yang dapat menambah umur kecuali silaturahmi.” (HR. Tirmidzi). Maka, manusia diperintahkan untuk berbuat baik bukan hanya sebagai bentuk ibadah, tetapi juga sebagai upaya memperpanjang keberkahan hidupnya di dunia.
Pandangan Imam Ali as tentang dua jenis ajal juga menggambarkan keseimbangan antara qadha’ (ketentuan Ilahi) dan qadar (ukuran atau pengaturan yang diberikan kepada manusia). Ajal hatmi mencerminkan dimensi qadha’, yaitu ketetapan akhir yang bersifat mutlak dan tidak dapat diubah. Sedangkan ajal ghayr hatmi menggambarkan dimensi qadar, yakni ruang gerak manusia dalam sistem sebab-akibat yang telah diciptakan oleh Allah. Dengan demikian, manusia tidak keluar dari kehendak Tuhan, tetapi tetap memiliki kebebasan moral untuk memilih jalan hidupnya. Imam Ali as mengingatkan bahwa mengenali kedua dimensi ini akan membuat seseorang tidak sombong ketika diberi umur panjang dan tidak gelisah ketika ajal menjemput, karena keduanya berada dalam kendali Ilahi yang penuh hikmah.
Dari sisi spiritual, perbedaan antara ajal hatmi dan ajal ghayr hatmi mengajarkan manusia tentang kesadaran akan waktu dan nilai kehidupan. Jika sebagian ajal bisa dipanjangkan dengan amal baik, maka setiap kebaikan yang dilakukan memiliki makna eksistensial yang mendalam. Setiap kali seseorang menjaga silaturahmi, membantu sesama, berbuat adil, atau menjauhi maksiat, ia sejatinya sedang memperluas rahmat Allah dalam hidupnya. Hidup yang berkah bukan semata-mata tentang panjangnya umur secara fisik, tetapi tentang bagaimana umur itu diisi dengan amal yang mendekatkan diri kepada Allah. Sebaliknya, dosa dan kezaliman dapat mempercepat kehancuran diri, bukan hanya secara biologis, tetapi juga secara spiritual dan sosial. Maka, ajal ghayr hatmi menjadi pengingat agar manusia berhati-hati dalam setiap langkahnya, karena amalnya sendiri bisa menjadi sebab panjang atau pendeknya usia.
Dengan demikian, pemahaman tentang dua jenis ajal ini tidak sekadar bersifat teologis, tetapi juga praktis dan reflektif. Ia menumbuhkan kesadaran bahwa hidup adalah anugerah yang dapat dijaga atau disia-siakan. Dalam kerangka ini, kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, tetapi sesuatu yang perlu dipersiapkan dengan amal baik dan keikhlasan. Imam Ali as berkata, “Beramallah untuk duniamu seakan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan engkau mati besok.” (Hikmah 280). Kalimat ini mengandung keseimbangan antara usaha dan kepasrahan, antara ikhtiar manusia dan takdir Allah. Siapa yang memahami hakikat ajal dengan benar, ia akan hidup dengan penuh kesadaran dan mati dengan penuh ketenangan.
Dalam keseluruhan pandangan Imam Ali as, konsep ajal hatmi dan ajal ghayr hatmi bukan hanya menjelaskan perbedaan antara dua jenis takdir, tetapi juga menunjukkan bahwa rahmat Allah meliputi setiap aspek kehidupan manusia. Allah memberikan ruang bagi manusia untuk memperbaiki dirinya, menunda azab melalui tobat, dan memperpanjang keberkahannya melalui amal saleh. Namun, ketika ajal hatmi tiba, maka seluruh kesempatan itu berakhir, dan manusia akan berpindah ke alam berikutnya sesuai dengan apa yang telah ia tanam. Oleh karena itu, memahami perbedaan kedua ajal ini menuntun manusia untuk lebih menghargai hidup, bersegera dalam kebaikan, dan tidak menunda taubat, karena setiap detik kehidupan adalah karunia yang bisa menjadi sebab bertambahnya umur atau berakhirnya kesempatan.
Sumber:
Nahjul Balaghah, Hikmah 374, Hikmah 350, Khutbah 122, Hikmah 280.

