Keadilan Ilahi: Harmoni Dunia dan Kehidupan Abadi (1)
Dalam pandangan dunia Islam, realitas tidak hanya berhenti pada apa yang kasat mata. Alam semesta terbagi menjadi dua dimensi besar: dunia dan akhirat. Pembagian ini bukan sekadar konsepsi abstrak, melainkan rukun mendasar dalam memahami hakikat keberadaan. Dunia adalah ruang tempat manusia hidup, berjuang, dan diuji, sementara akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan ini, sekaligus tujuan akhir perjalanan manusia.
Alam gaib dan alam nyata yang sebelumnya telah dibicarakan memberi gambaran tentang asal-usul dan keteraturan ciptaan. Akan tetapi, akhirat memiliki posisi istimewa. Ia bukan hanya gaib dalam pengertian tidak terlihat oleh panca indra, melainkan juga alam yang menjadi muara dari semua perjalanan. Dari sanalah manusia berasal, di sanalah manusia kembali. Hal ini ditegaskan dalam ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as: “Allah menyayangi orang yang mengetahui dari mana, melalui mana, dan ke mana.” Beliau tidak berkata “dari apa, melalui apa, dan ke apa,” sebab jika demikian, maksudnya hanya akan terbatas pada aspek materi, sebagaimana manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Ungkapan Imam Ali lebih tinggi maknanya. Ia merujuk pada realitas eksistensial: dunia apa yang menjadi asal kita? Dunia apa yang sedang kita huni? Dan dunia apa yang akan kita masuki? Pertanyaan ini menyingkap keterhubungan antara dunia dan akhirat sebagai dua tahapan yang saling melengkapi.
Dalam bahasa Al-Qur’an, dunia dan akhirat disebut sebagai nasy’ah, yakni dua bentuk kemunculan yang mandiri. Dunia bukan sekadar ruang lahiriah yang fana, melainkan fase awal yang melahirkan perjalanan ruhani. Akhirat pun bukan sekadar tempat pembalasan, tetapi kelanjutan dari pilihan, amal, dan niat yang dibentuk di dunia. Karena itu, kategori amal duniawi dan ukhrawi bergantung pada niat: bila perbuatan dilakukan hanya untuk kepentingan diri, ia tergolong duniawi. Namun bila diniatkan karena Allah dan demi mencari ridha-Nya, ia menjadi amal ukhrawi, sekalipun bentuknya sederhana.
Dalam perspektif inilah seorang mukmin dituntut untuk senantiasa sadar bahwa dunia bukan tempat tujuan, melainkan jembatan menuju akhirat. Kesadaran ini menjaga manusia agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia, namun juga tidak mengabaikan peran dunia sebagai ladang menanam amal. Dunia dan akhirat, seperti halnya alam gaib dan nyata, adalah konsep mutlak dalam Islam—bukan relatif atau dapat dinegosiasikan.
Bersambung....

