Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Keadilan Ilahi: Harmoni Dunia dan Kehidupan Abadi(2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kearifan Mahaluas dan Keadilan Allah

Dari pembahasan dunia dan akhirat, kita sampai pada salah satu pokok penting dalam teologi Islam, yaitu kearifan dan keadilan Allah. Pertanyaan yang sering muncul dalam hati manusia adalah: mengapa dunia tampak penuh dengan ketidaksempurnaan, penderitaan, dan perbedaan nasib? Bagaimana mungkin Allah yang Mahabijaksana dan Mahaadil menciptakan sistem yang demikian?

Pandangan Islam menegaskan bahwa alam ini merupakan sistem paling bijak yang mungkin ada. Tidak ada sistem lain yang lebih sempurna. Segala yang ada, baik keteraturan kosmik maupun hukum-hukum kehidupan, berjalan dalam rangkaian yang penuh makna. Akan tetapi, di balik keyakinan ini, muncul persoalan-persoalan yang tidak sederhana.

Kita melihat adanya penyakit, cacat bawaan, kematian dini, bencana alam, ketidakadilan sosial, hingga perbedaan bentuk dan kondisi fisik manusia. Ada yang terlahir sehat, ada yang sakit. Ada yang cantik, ada yang buruk rupa. Ada yang menjadi manusia, ada yang menjadi hewan, bahkan sebagian menjadi makhluk yang kita pandang hina. Lantas, di manakah letak keadilan?

Apakah adil menciptakan makhluk, memberinya kesenangan hidup, lalu melenyapkannya? Apakah adil memberikan sebagian manusia kelapangan, sementara sebagian lain harus hidup dalam kesempitan? Mengapa sebagian terlahir sebagai malaikat penuh cahaya, sementara sebagian lain sebagai setan yang penuh kegelapan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggugat keadilan ilahi, dan setiap orang yang berfikir mendalam tentu pernah bersentuhan dengannya.

Namun, pandangan tauhid menuntut jawaban yang lebih tinggi. Tauhid berarti melihat alam semesta sebagai perbuatan Allah yang Mahabijaksana dan Mahaadil. Setiap perbedaan dan keragaman yang tampak di dunia sesungguhnya memiliki hikmah tersembunyi. Apa yang tampak buruk dalam pandangan kita bisa jadi memiliki peran penting dalam kesempurnaan sistem yang lebih besar.

Imam Ali a.s. dalam banyak ucapannya menyinggung betapa manusia seringkali sempit dalam melihat hakikat. Keterbatasan kita membuat sesuatu tampak sia-sia, padahal di balik itu ada pelajaran, fungsi, atau rahmat yang lebih luas. Al-Qur’an sendiri mengingatkan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS 2:216).

Bersambung...