Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kebijaksanaan Ilahi di Balik Penderitaan dan Perbedaan Hidup (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kehidupan, Ujian, dan Kesempurnaan Manusia

Pandangan dunia materialistik sering kali menganggap bahwa manusia hanyalah makhluk tanpa arah, terikat pada mekanisme alam semata. Hidup dilihat sebagai rangkaian peristiwa acak tanpa makna, sehingga penderitaan dianggap sebagai bukti ketidakadilan. Bila demikian adanya, kehidupan tidak lebih dari sebuah lelucon keji yang dimainkan alam terhadap manusia, dan semua jerih payah, perjuangan, serta pengorbanan akan tampak sia-sia.

Namun, pandangan religius melihat dunia dengan cara yang sangat berbeda. Kehidupan ini bukanlah permainan tanpa tujuan. Dunia diciptakan dengan kesadaran, kehendak, dan kebijaksanaan Ilahi. Ada keadilan yang meliputi setiap partikel alam semesta, dan segala sesuatu bergerak menuju kesempurnaan sesuai kadar dan kapasitasnya.

Manusia diciptakan berbeda-beda dalam bakat, kemampuan, dan kesempatan. Perbedaan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan bagian dari rancangan Ilahi agar manusia saling membutuhkan dan bekerja sama membangun peradaban. Seperti halnya sebuah pesawat yang terdiri dari berbagai komponen berbeda—mesin, sayap, ekor, dan kokpit—semuanya memiliki fungsi unik yang tak tergantikan. Tanpa perbedaan itu, pesawat hanyalah tumpukan logam tak berguna.

Begitu pula kehidupan sosial manusia. Setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab sesuai kemampuannya. Ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjadi ilmuwan, ada yang menjadi petani, dan ada yang menjadi guru. Semua peran ini membentuk harmoni sosial yang memungkinkan manusia berkembang menuju kesempurnaan.

Al-Qur’an mengingatkan:

“Engkau tidak akan pernah menemukan perubahan sedikit pun dalam sunnah Allah.”
(QS Fathir: 43)

Ayat ini menegaskan bahwa hukum-hukum Ilahi dalam penciptaan bersifat tetap dan konsisten. Manusia tidak bisa menukar posisinya dengan makhluk lain, sebagaimana angka dua tidak bisa menggantikan posisi angka satu dalam bilangan. Setiap makhluk memiliki tempat yang sudah ditentukan sesuai dengan hikmah dan kehendak Allah.

Orang yang beriman memahami bahwa penderitaan, kegagalan, dan perbedaan dalam hidup bukanlah bentuk ketidakadilan, melainkan ujian dan sarana penyempurnaan diri. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan, bukan tujuan akhir. Kehidupan yang sejati menanti di akhirat, di mana keadilan Ilahi akan terwujud sepenuhnya. Segala amal manusia—baik atau buruk—akan dihisab dengan seadil-adilnya, tanpa ada yang terlewat sedikit pun.

Karena itu, seorang mukmin memandang dunia dengan bijaksana. Ia tidak larut dalam penderitaan, tidak pula terbuai oleh kesenangan sementara. Ia melihat segala peristiwa sebagai ujian yang harus dihadapi dengan sabar dan syukur. Kemenangan sejati bukanlah keberhasilan materi semata, melainkan kedekatan dengan Allah dan keselamatan di akhirat.

Pandangan seperti inilah yang melahirkan ketenangan batin, keteguhan hati, dan semangat perjuangan. Seorang mukmin menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara. Segala sesuatu akan berlalu, tetapi amal dan ketulusan akan abadi di sisi Allah. Ia berjuang bukan untuk dunia semata, melainkan untuk tujuan yang lebih tinggi: hidup demi Allah dan mati demi Allah.

Pada akhirnya, keadilan Ilahi bukan berarti menyamaratakan segalanya, tetapi menempatkan setiap makhluk sesuai kadar dan kemampuannya. Perbedaan bukanlah ketidakadilan, melainkan tanda kebijaksanaan Allah dalam mengatur alam semesta. Dengan memahami hal ini, manusia akan melihat dunia dengan pandangan yang lebih jernih, penuh makna, dan jauh dari keputusasaan.