Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Tingkatan-Tingkatan Syirik (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

2. Fitrah dan Penolakan terhadap Materialisme

Al-Qur’an menjelaskan bahwa dasar keimanan dan tauhid bukanlah kondisi sosial atau kelas, melainkan fitrah—sifat bawaan dan hakikat terdalam manusia. Setiap manusia memiliki potensi alami untuk mengenal dan mengakui Tuhan yang Esa.

Jika ide dan iman hanyalah produk kelas, maka tidak akan ada Nabi Musa yang melawan Fir‘aun, sebab ia tumbuh dalam istana Fir‘aun. Tidak akan ada manusia yang dapat dikutuk atau dipuji, karena perbuatannya hanyalah akibat dari latar sosialnya. Tetapi kenyataannya tidak demikian: manusia memiliki kebebasan moral untuk menentang kepentingan kelasnya.

Karena itu, teori bahwa ide hanyalah refleksi ekonomi adalah penolakan terhadap kemanusiaan manusia itu sendiri. Al-Qur’an menggambarkan bahwa memang ada pengaruh timbal balik antara kondisi material dan spiritual, tetapi bukan berarti yang satu menjadi infrastruktur mutlak bagi yang lain.

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika ia melihat dirinya kaya.” (QS. Al-‘Alaq: 6–7)

Ayat ini menunjukkan hubungan antara kondisi material dengan kesombongan spiritual, namun Al-Qur’an tetap menegaskan eksistensi fitrah yang dapat diseru dan disadarkan, baik pada kaum tertindas maupun kaum penguasa.

Mereka yang tertindas lebih mudah menerima seruan fitrah karena tidak terbebani kepentingan dan keistimewaan duniawi. Namun, ada juga di antara para penguasa yang bangkit menentang kelasnya sendiri—sebagaimana ada pula rakyat tertindas yang menjadi musuh kebenaran karena ketakutan atau kebiasaan.

Al-Qur’an menilai bahwa penentangan terhadap tauhid bukanlah akibat sosial semata, melainkan penolakan terhadap kebenaran yang sudah diketahui dalam hati:

“Mereka menolak, padahal jiwa mereka meyakininya.” (QS. An-Naml: 14)

Penolakan itu disebut kufur juhudi—kekufuran yang sadar, bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena kesombongan yang melawan hukum fitrah.

Bersambung...