Fatimah: Cinta, tetapi Bukan Pasrah
Ali Syariati mengingatkan bahwa cinta Fatimah bukan cinta yang sentimental. Ia tidak mencintai Rasulullah karena ia adalah ayahnya. Ia mencintainya karena Nabi adalah kebenaran, dan karena Islam adalah jalan pembebasan manusia. Maka ketika Nabi wafat, cinta itu tidak berubah menjadi air mata yang melemah, melainkan menjadi api kesadaran yang menyala.
Pada momen kritis setelah wafatnya Rasulullah, ketika kekuasaan diperebutkan dan arah ummah mulai disimpangkan, Fatimah tidak tinggal diam. Di sinilah Syariati menekankan bahwa Fatimah keluar ke tengah masyarakat bukan karena emosinya terluka, tetapi karena ideologi Islam sedang terancam.
Ia berdiri di mimbar Masjid Nabawi dan menyampaikan Khutbah Fadak, bukan karena sebidang tanah dirampas darinya, tetapi karena keadilan, amanah, dan prinsip Islam sedang dihancurkan.
Sayyidah Fatimah adalah simbol perempuan yang tidak hanya mengasuh, tetapi juga mengoreksi sejarah.

