Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Islam dan Rasionalitas (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Imam al-Baqir as berkata bahwa misi utama kenabian adalah membangkitkan dan menyempurnakan akal manusia, agar mereka mengenal Allah, memahami wahyu, dan bertindak dengan penuh bijak. Derajat manusia diukur dari kesempurnaan akalnya. 

مَا بَعَثَ اللَّهُ أَنْبِيَاءَهُ وَرُسُلَهُ إِلَىٰ عِبَادِهِ إِلَّا لِيَعْقِلُوا عَنِ اللَّهِ، فَأَحْسَنُهُمْ اسْتِجَابَةً أَحْسَنُهُمْ مَعْرِفَةً، وَأَعْلَمُهُمْ بِأَمْرِ اللَّهِ أَحْسَنُهُمْ عَقْلًا، وَأَكْمَلُهُمْ عَقْلًا أَرْفَعُهُمْ دَرَجَةً فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ 

“Allah tidak mengutus para nabi dan rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya kecuali agar mereka menggunakan akalnya untuk memahami Allah. Yang terbaik penerimaannya adalah yang terbaik pengetahuannya, yang paling mengetahui urusan Allah adalah yang paling baik akalnya, dan yang paling sempurna akalnya adalah yang paling tinggi derajatnya di dunia dan akhirat.” (Al-Kafī, jilid 1, hal. 16, hadis no. 12.) 

Imam al-Baqir as mengungkapkan bahwa kehilangan harta atau kesehatan bukan musibah terbesar; yang terburuk adalah hilangnya akal, sebab tanpa akal, manusia kehilangan arah hidup. Akal adalah modal utama manusia; jika hilang, maka hilanglah segalanya. 

لَا مُصِيبَةَ كَعَدَمِ الْعَقْلِ 

“Tidak ada musibah yang lebih besar daripada hilangnya akal.” (Tuḥaf al-‘Uqul, hal. 286.) 

Akal adalah nikmat terbesar. Ketika akal dicabut, maka nikmat lain—agama, harta, dan kedudukan—akan kehilangan nilainya. Imam al-Ṣhadiq as bersabda: 

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُزِيلَ مِنْ عَبْدٍ نِعْمَةً كَانَ أَوَّلَ مَا يُغَيِّرُ مِنْهُ عَقْلَهُ 

“Apabila Allah hendak mencabut nikmat dari seorang hamba, yang pertama kali diubah darinya adalah akalnya.” (Al-Ikhtiṣaṣ, hal. 245) 

Akal adalah teman sejati yang menuntun pada keselamatan, sementara kebodohan menjerumuskan manusia ke dalam kebinasaan. Akal adalah pendamping sejati manusia; kebodohan adalah musuh yang paling berbahaya. Imam al-Riḍha as berkata: 

صَدِيقُ كُلِّ امْرِئٍ عَقْلُهُ، وَعَدُوُّهُ جَهْلُهُ 

“Sahabat setiap orang adalah akalnya, dan musuhnya adalah kebodohannya.” (Al-Kafī, jilid 1, hal. 11, hadis no. 4) 

Imam Ali as mengungkapkan bahwa akal setia selamanya, tapi sering diabaikan. Nafsu justru musuh, tetapi kebanyakan manusia menaatinya. 

الْعَقْلُ صَدِيقٌ مَقْطُوعٌ، وَالْهَوَى عَدُوٌّ مَتْبُوعٌ 

“Akal adalah sahabat yang tak pernah terputus, sedangkan hawa nafsu adalah musuh yang selalu diikuti.” (Ghurar al-Ḥikam, ha. 324–325) 

Imam Ali as menekankan bahwa bekal sejati bukan harta atau kekuasaan, melainkan akal. Sebaliknya, kebodohan adalah musuh yang paling merusak kehidupan.  

لَا عُدَّةَ أَنْفَعُ مِنَ الْعَقْلِ، وَلَا عَدُوَّ أَضَرُّ مِنَ الْجَهْلِ 

“Tidak ada bekal yang lebih bermanfaat daripada akal, dan tidak ada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan.” (Biḥar al-Anwar, jilid 1, hal. 95, hadis no. 35) 

Di tempat lain, Imam Ali as berkata bahwa akal yang sehat adalah penasihat yang jujur. Orang yang mengandalkan akalnya dalam mengambil keputusan tidak akan mudah terjerumus.  

لَا يَغُشُّ الْعَقْلَ مَنِ اسْتَنْصَحَهُ 

“Barang siapa meminta nasihat kepada akalnya, ia tidak akan pernah tertipu.” (Nahj al-Balaghah, no. 281) 

Hadis-hadis tersebut secara umum memperlihatkan betapa akal dan berpikir kritis dianggap sebagai inti keberagamaan dalam Islam. 

Para filosof Muslim menolak anggapan bahwa wahyu dan akal saling bertentangan. Mereka melihat keduanya sebagai dua jalan menuju kebenaran yang sama. 

Al-Farabi memandang agama sebagai “perwujudan filsafat dalam bentuk simbol” agar dapat dipahami oleh masyarakat luas. (Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, hal. 90) 

Ibn Sina (Avicenna) menegaskan bahwa iman sejati perlu diperkuat oleh argumen rasional. (Al-Najat, hal. 315) 

Mulla Sadra merumuskan filsafat al-Hikmah al-Muta‘aliyyah, sebuah sintesis antara akal, wahyu, dan intuisi spiritual. (Al-Asfar al-Arba‘ah, jilid 1, hal. 10)  

Bersambung...