Tingkatan Jiwa menurut Pandangan Filsuf
Para filsuf Islam, seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan kemudian dimatangkan oleh Mulla Sadra, juga menyusun hierarki perkembangan jiwa. Mereka menjelaskan dinamika jiwa dalam kerangka epistemologis dan ontologis yang sistematis.
Sebagaimana para arif, mereka menyebutkan adanya tujuh tingkatan, yaitu:
1. ‘Aql al-hayulani (akal potensial), ketika jiwa masih kosong dari aktualitas, namun memiliki kesiapan untuk menerima kesempurnaan.
2. ‘Aql bi al-malakah (akal habitual), ketika jiwa mulai memiliki pengetahuan aksiomatis yang bersifat dasar.
3. ‘Aql bi al-fi‘l (akal aktual), ketika jiwa mampu menyusun silogisme untuk memperoleh pengetahuan teoretis dari prinsip-prinsip aksioma.
4. ‘Aql al-mustafad (akal perolehan), ketika seluruh ilmu hadir dalam jiwa sehingga ia menjadi “alam ilmiah” yang paralel dengan alam objektif.
5. Mahw (penghapusan), yakni tauhid perbuatan: kesadaran bahwa seluruh perbuatan fana dalam perbuatan Allah.
6. Thams (penghapusan mendalam), yakni tauhid sifat: kesadaran bahwa seluruh sifat kesempurnaan fana dalam sifat Allah.
7. Mahq (pelenyapan total), yakni tauhid wujud: kesadaran bahwa wujud diri fana sepenuhnya dalam wujud Allah. Artinya, ia tidak melihat keberadaan dirinya secara independen dari keberadaan Allah, bahkan ia memandang eksistensinya semata-mata bergantung dan murni terkait pada eksistensi Allah. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk seluruh selain Allah, ia tidak menemukan adanya wujud yang benar-benar dapat disebut sebagai realitas hakiki. (Al-Fawa’id al-‘Amuli, jilid 1, hlm. 132)
Jika dibandingkan dengan para arif, terlihat bahwa filsuf lebih menekankan aspek epistemologis pada empat tingkatan awal, lalu berpindah ke aspek ontologis dan teologis pada tiga tingkatan terakhir. Hal ini menunjukkan kesinambungan antara filsafat dan irfan: keduanya sama-sama menempatkan tujuan akhir jiwa pada tauhid eksistensial, meski dengan pendekatan terminologis yang berbeda.
Walhasil, baik dalam irfan maupun filsafat Islam, jiwa dipahami sebagai entitas yang memiliki dinamika bertingkat. Titik awal perjalanan selalu dimulai dari kondisi potensial yang masih terikat pada dimensi material, dan berakhir pada kondisi transenden di mana jiwa fana dalam Tuhan.
Perbedaan utama keduanya terletak pada penekanan: irfan menekankan aspek praktis-sufistik dengan bahasa simbolis (badan, qalb, ruh, sirr, dll.), sementara filsafat menekankan aspek teoretis-epistemologis (akal potensial, akal aktual, akal mustafad, dll.). Namun, keduanya bersepakat bahwa kesempurnaan tertinggi jiwa adalah pencapaian tauhid wujud, yakni penyaksian eksistensi murni Allah sebagai realitas absolut, dan kefanaan total segala selain-Nya.

