Sayyidah Fatimah sa, Penjelmaan Kautsar dan Kemuliaan Nabi Muhammad saw
Pada suatu hari di Mekah, ketika matahari menebarkan panasnya di atas pasir tandus, seorang lelaki bernama ‘Ash bin Wā’il berjalan melewati salah satu jalan utama. Di sana, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang wajahnya bersinar penuh ketenangan — Muhammad bin ‘Abdullah ﷺ, sang Nabi akhir zaman.
‘Ash bin Wā’il, yang dikenal sebagai salah seorang pembesar Quraisy dan di antara yang paling keras menentang risalah tauhid, menghampiri Nabi dengan senyum yang dibuat-buat. Ia menyapa dan mengajak beliau berbicara sejenak. Nabi membalas sapaannya dengan kelembutan dan adab yang luhur.
Rasulullah ﷺ mengenal isi hati manusia. Beliau tahu siapa yang tulus, dan siapa yang penuh kebencian terselubung. Namun akhlak kenabian tidak membedakan cara memperlakukan manusia. Beliau tetap tersenyum, mendengarkan dengan sabar, dan menjawab dengan kebaikan.
Setelah percakapan itu selesai, dan keduanya berpisah, beberapa orang bertanya kepada ‘Ash bin Wā’il:
“Dengan siapa engkau berbicara tadi?”
Dengan nada menghina, ia menjawab:
“Aku berbicara dengan orang yang al-abtar, yang terputus keturunannya.”
Ucapan itu menyinggung peristiwa sedih yang baru saja dialami Rasulullah ﷺ. Dua putra beliau al-Qāsim dan ‘Abdullāh wafat saat masih kecil. Orang-orang musyrik Mekah yang hatinya keras, menertawakan duka itu. Mereka berkata, “Muhammad tidak punya anak laki-laki, maka garisnya akan terputus. Tak akan ada yang menyebut namanya setelah ia mati.”
Namun sejarah selalu berpihak kepada yang benar. Dan Allah sendiri yang menjawab penghinaan itu dengan wahyu yang abadi — Surah al-Kautsar:
“Sesungguhnya Kami telah memberimu al-Kautsar. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (al-abtar).” (QS. al-Kautsar: 1–3)
Dalam tafsir Ahlulbait, para Imam suci menjelaskan bahwa “al-Kautsar” bukan hanya sekadar sungai surga, sebagaimana dipahami sebagian mufasir, melainkan segala bentuk kebaikan yang melimpah dan terus bertambah.
Imam Ja‘far ash-Shadiq (as) berkata: “Al-Kautsar adalah sungai di surga yang mengalir dari bawah ‘Arsy. Tetapi di dunia, ia adalah Fāṭimah az-Zahrā sa.”
(Tafsir al-Qummi, jilid 2, hlm. 430)
Beliau melanjutkan bahwa dari Fāṭimah lah mengalir keturunan Rasulullah ﷺ yang suci — para imam maksum yang menjadi pelanjut cahaya kenabian. Dengan kata lain, “kebaikan yang banyak” itu adalah dzurriyyah Rasulullah yang abadi.
Maka ketika orang-orang musyrik menyebut Nabi sebagai “terputus”, Allah menegaskan sebaliknya: “Bukan engkau yang terputus, wahai Muhammad, tetapi musuh-musuhmulah yang akan hilang dari sejarah.”
Dan benar. Nama ‘Ash bin Wā’il tenggelam dalam kebisuan masa, sementara nama Muhammad ﷺ dikumandangkan setiap waktu di seluruh penjuru bumi.

