Analisis Muthahhari tentang Perjuangan dan Peran Politik Sayidah Fatimah
Dalam lembar-lembar sejarah Islam, tidak banyak tokoh yang meninggalkan jejak sekuat Sayidah Fatimah al-Zahra as. Ia adalah perempuan suci yang tidak hanya hidup sebagai putri Rasulullah, tetapi sebagai penjaga ruh Islam di masa ketika arus sejarah mulai menggeser nilai-nilai yang ditegakkan ayahnya. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari—filsuf dan pemikir revolusioner Iran—hari-hari terakhir Fatimah adalah salah satu episode paling menentukan dalam sejarah Islam. Itulah masa ketika seorang perempuan berdiri tegak menantang penyimpangan politik, sementara mayoritas umat memilih diam.
Melalui karya-karyanya seperti “The Life and Character of Fatima Zahra” dan “Imamate and Leadership”, Muthahhari memandang perjuangan Fatimah bukan sekadar isu keluarga Nabi, tetapi perang moral untuk mempertahankan otentisitas Islam. Dalam kacamata beliau, Fatimah bukan tragedi, tetapi kesadaran—kesadaran yang menyelamatkan umat dari distorsi yang bisa mengubah wajah Islam untuk selamanya.
Ketika Rumah Nabi Menjadi Pusat Gejolak Sejarah
Setelah wafatnya Rasulullah saw, umat Islam memasuki masa penuh ketegangan politik. Muthahhari menegaskan bahwa perubahan itu berlangsung sangat cepat: nilai-nilai dakwah yang dibangun bertahun-tahun berubah menjadi kompetisi kekuasaan yang berbalut jargon persatuan. Dalam situasi genting inilah, Fatimah tampil bukan sebagai perempuan yang larut dalam duka ayah, melainkan sebagai sosok yang memahami sepenuhnya konsekuensi sejarah dari setiap penyimpangan yang terjadi.
Menurut Muthahhari: “Fatimahlah yang paling memahami apa yang sedang hilang. Ia berdiri bukan karena duka, tetapi karena pandangan yang jernih.”
Fatimah melihat bahwa umat sedang berjalan menuju jurang. Ia tahu bahwa diam pada saat itu berarti membuka pintu panjang bagi penindasan Ahlulbait, yang kelak berpuncak pada tragedi Karbala. Karena itulah, ia tidak memilih diam. Ia bergerak. Ia berbicara. Ia memperingatkan.

