Dimensi Kehidupan Sayyidah Fatimah s.a Dalam Perspektif Psikososial (2)
Sebagai seorang ibu, Sayyidah Fatimah memberikan teladan psikososial yang tidak kalah pentingnya. Ia mengasuh Imam Hasan dan Imam Husain dengan penuh kasih, kesabaran, dan keteladanan. Dalam psikologi modern, pola ini dikenal sebagai positive parenting mendidik anak dengan cinta, batasan yang jelas, dan penanaman nilai melalui contoh perilaku. Fatimah tidak hanya mengajarkan kebaikan lewat kata-kata, tetapi juga menunjukkan empati, keberanian, dan ketabahan dalam kehidupannya. Anak-anak yang tumbuh dalam model pengasuhan seperti ini biasanya mengembangkan kestabilan emosi, kemampuan sosial yang baik, dan ketahanan psikologis yang kuat.
Bahkan dalam aktivitas sosial dan kemanusiaan, Sayyidah Fatimah menunjukkan perilaku prososial yang membawa dampak psikologis mendalam. Suatu ketika, beliau dan keluarganya berpuasa nazar, dan selama tiga hari berturut-turut mereka memberikan makanan buka puasa kepada anak yatim, fakir miskin, dan tawanan perang, meskipun mereka sendiri kelaparan. Dalam psikologi, perilaku prososial seperti ini tidak hanya menolong orang lain, tetapi juga memberikan makna hidup atau meaning-making kepada pelakunya. Individu yang memiliki tujuan hidup dan terlibat dalam kegiatan penuh makna biasanya lebih stabil secara emosional, lebih optimis, dan lebih mampu menghadapi tekanan.
Salah satu dimensi pusat dalam psikososial adalah ketahanan emosi atau emotional resilience. Ini adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan, menstabilkan, dan memulihkan emosi ketika menghadapi kesulitan. Dalam kehidupan Fatimah as, ketahanan emosi tampak sangat kuat. Ia mampu bersabar dalam kemiskinan, tekanan politik, dan ujian hidup. Beliau tidak mengeluh, tetapi mendekat kepada Allah melalui doa, ibadah, dan keridaan. Pengelolaan emosi melalui spiritualitas seperti ini memberikan keseimbangan batin yang menjadi perisai terhadap tekanan hidup. Orang yang resilien biasanya mampu mengendalikan emosinya, berfikir rasional dalam situasi sulit, cepat pulih setelah kegagalan, dan fleksibel beradaptasi dengan perubahan.
Kisah hidup Sayyidah Fatimah menunjukkan bahwa kesejahteraan psikososial tidak dibangun oleh satu faktor saja, tetapi melalui perpaduan dukungan keluarga, amalan spiritual, kasih sayang, karakter mulia, dan lingkungan sosial yang sehat. Inilah inti dari kesejahteraan psikososial yang diajarkan Islam jauh sebelum istilah itu dikenal dalam psikologi modern.
Dalam tekanan hidup modern yang penuh kesibukan, kecemasan, dan tuntutan, menjadikan Fatimah as sebagai cermin jiwa adalah langkah yang bijak. Beliau kuat karena dekat dengan Allah, lembut karena cinta kepada umat Nabi Muhammad, dan teguh karena yakin pada kebenaran. Keteladanan ini bukan hanya inspirasi spiritual, tetapi juga pedoman psikososial yang utuh untuk meningkatkan ketahanan emosi, memperkuat keluarga, serta membangun kehidupan sosial yang lebih sehat.

