Aksiologi Filsafat Sains Seyyed Hossein Nasr: Memulihkan Kesucian Pengetahuan (1)
Bayangkan seorang anak di jantung Tehran tahun 1933, lahir di tengah aroma masjid kuno dan hembusan angin pegunungan Alborz, yang kelak menjadi jembatan antara dunia Timur dan Barat, antara sains modern dan misteri ilahi. Seyyed Hossein Nasr, putra seorang dokter kerajaan yang juga filsuf, lahir pada 7 April 1933 dari garis keturunan Seyyed—keturunan Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Seyyed Valiollah Nasr, bukan hanya tabib bagi keluarga kerajaan Pahlavi, tapi juga pelopor pendidikan modern Iran, yang sering menggelar majelis diskusi tentang filsafat Islam, puisi Rumi, dan etika ilmu pengetahuan. Di rumah itu, bocah Hossein menyerap udara intelektual yang kaya: Al-Qur’an, sastra Persia, dan cerita mistik Sufi dari leluhur yang termasuk Mulla Seyyed Muhammad Taqi Poshtmashhad, seorang wali terkenal di Kashan. Kisah hidup Nasr dimulai sebagai dongeng tentang pencarian cahaya—pengetahuan yang bukan sekadar fakta, tapi kunci pembebasan jiwa dari belenggu duniawi.
Pada usia remaja, tragedi datang seperti badai: ayahnya mengalami kecelakaan serius. Untuk melindunginya, ibunya mengirim Nasr ke Amerika Serikat pada 1948, ke Peddie School di New Jersey. Di sana, di tengah hiruk-pikuk Barat yang asing, ia lulus sebagai valediktorian pada 1950, tapi hati kecilnya merindukan akar Persia. Beasiswa ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) membawanya ke Boston pada 1950, di mana ia mengejar gelar sarjana fisika pada 1954—sebagai mahasiswa sarjana Iran pertama di MIT. Namun, di laboratorium dingin itu, Nasr bertemu kekecewaan besar: fisika, dengan rumus-rumusnya yang presisi, gagal menjawab pertanyaan abadinya, “Apa hakikat alam semesta? Mengapa segala sesuatu ada?” Pertemuan dengan filsuf Giorgio de Santillana membuka pintu baru: buku-buku René Guénon dan Frithjof Schuon, yang memperkenalkannya pada philosophia perennis—kebijaksanaan abadi yang menyatukan semua agama autentik. Di Harvard, ia beralih ke master geologi dan geofisika (1956), lalu PhD sejarah sains (1958), dengan disertasi tentang kosmologi Islam yang diterbitkan sebagai An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (1964). Di sini, Nasr menemukan panggilan: sains bukan mesin mati, tapi teofani—manifestasi Tuhan.
Kembali ke Iran pada 1958, Nasr menolak tawaran profesor di MIT dan Harvard, memilih mengabdi pada tanah air. Di Universitas Tehran, ia menjadi profesor filsafat dan sejarah sains termuda pada usia 30 tahun, mendirikan departemen studi Islam dan Iran di universitas-universitas Amerika. Pada 1972, ia menjabat rektor Universitas Aryamehr (kini Sharif University of Technology), di mana ia mendirikan fakultas humaniora untuk menyeimbangkan teknologi dengan etika spiritual. Di bawah naungannya, ia mendirikan Akademi Filsafat Iran Kekaisaran (1974), mengundang pemikir seperti Henry Corbin dan Toshihiko Izutsu. Nasr menolak jabatan menteri atau duta besar, fokus pada “jihad intelektual” untuk membangkitkan warisan Iran di tengah modernisasi. Buku pertamanya, Science and Civilization in Islam (1968), menjadi mercusuar: menceritakan bagaimana ilmuwan Muslim seperti Ibn Sina dan Al-Biruni melihat alam sebagai ayat-ayat Tuhan, bukan objek eksploitasi. Lalu datang Man and Nature (1968), di mana ia memperingatkan krisis ekologis sebagai “krisis spiritual”—satu dekade sebelum gerakan lingkungan global meledak.
Nasr hijrah ke Amerika. Di sana ia melanjutkan perjuangan intelektualnya. Di Amerika, ia mengajar di Temple University (1980–1984), lalu George Washington University sebagai University Professor of Islamic Studies hingga kini, di usia 92 tahun. Puncak karir datang pada 1981: sebagai Muslim pertama yang diundang mengisi Gifford Lectures di Edinburgh, yang diterbitkan sebagai Knowledge and the Sacred (1981)—kritik mendalam terhadap desakralisasi pengetahuan modern, di mana sains Cartesian-Newtonian mengubah alam dari teofani menjadi mesin. Buku ini, seperti pedang cahaya, menebas nihilisme Barat, menyerukan scientia sacra: ilmu suci yang mengintegrasikan rasio dengan intuisi ilahi.
Publikasi Nasr adalah lautan karangan yang luar biasa—lebih dari 50 buku dan 500 artikel, diterjemahkan ke 28 bahasa, membentuk narasi pemulihan jiwa manusia. Antara yang ikonik: Shi’ite Islam (1975), terjemahan karya guru Allamah Tabatabai; The Need for a Sacred Science (1993), pembelaan terhadap intelek (‘aql) sebagai “mata hati” yang menangkap Kebenaran Absolut; Religion and the Order of Nature (1996), yang menghubungkan kosmologi tradisional dengan etika ekologis; hingga The Study Quran (2015), edisi anotasi Al-Qur’an komprehensif dengan perspektif inter-agama, hasil kolaborasi puluhan sarjana. Puisi-puisinya, seperti Poems of the Way (1999), bahkan diadaptasi menjadi musik oleh Sami Yusuf, menjadikannya bukan hanya pemikir, tapi penyair jiwa. Di usia lanjut, The Garden of Truth (2007) dan The Essential Seyyed Hossein Nasr (2007) merangkum perjalanannya: dari Sufisme Vedanta hingga Kabbalah, semua menuju kesatuan transenden.
Kontribusi utama Nasr adalah seperti sungai yang menyuburkan padang gurun modernitas: ia mendirikan environmentalisme Islam, memperingatkan bahwa krisis iklim adalah hilangnya rasa suci terhadap alam sebagai khalifah Tuhan. Sebagai perennialis utama, ia mempromosikan sophia perennis—kebijaksanaan abadi yang menolak sinkretisme tapi merayakan kesatuan esoterik agama-agama, melalui dialog dengan Paus Benediktus XVI (2008) dan konferensi Sacred Web. Di filsafat sains, ia merehabilitasi hierarki realitas: pengetahuan empiris hanyalah tingkat rendah, yang harus diintegrasikan dengan gnosis spiritual untuk menghindari fragmentasi dan nihilisme. Pengasingannya justru memperkaya: mendirikan Foundation for Traditional Studies (1984), menerbitkan jurnal Sophia, dan memproduksi dokumenter “Islam and the West”. Nasr bukan sekadar sarjana; ia adalah pontifex—jembatan antara langit dan bumi, mengajak kita bertanya: “Untuk apa pengetahuan jika tak membebaskan jiwa?”
Kini, di Washington D.C., Nasr menjalani hari-harinya dalam doa, meditasi, dan nasihat spiritual, seperti sufi yang telah pulang ke pusat abadi—”bukan di Timur maupun Barat.” Kisahnya mengingatkan: di era AI dan kehancuran ekologis, pengetahuan sejati adalah yang sakral, yang mengubah bukan mendominasi. Melalui Nasr, kita belajar bahwa hidup adalah ziarah—dari Tehran ke dunia, dari fisika ke firdaus, menuju Yang Absolut yang menyatukan segalanya.
Nasr menawarkan kritik mendalam terhadap krisis epistemologis dan aksiologis peradaban modern melalui karya monumentalnya Knowledge and the Sacred (Gifford Lectures, 1981). Dalam konteks filsafat sains, Nasr mengembangkan perspektif aksiologis yang khas—suatu teori nilai yang berupaya memulihkan dimensi sakral dalam pengetahuan dan ilmu. Aksiologi Nasr tidak berhenti pada pertanyaan “bagaimana kita mengetahui?”, tetapi melangkah lebih jauh: “apa nilai sejati dari pengetahuan?” dan “untuk tujuan apa pengetahuan seharusnya diarahkan?”. Tulisan ini mengeksplorasi dimensi aksiologis filsafat sains Nasr, khususnya bagaimana ia menempatkan nilai-nilai transenden sebagai fondasi yang hilang dalam sains modern.
Krisis Nilai dalam Sains Modern
Nasr memulai analisisnya dengan mengidentifikasi akar krisis modernitas: pemisahan pengetahuan dari yang sakral (the Sacred). Menurutnya, sejak Renaissance dan Pencerahan, Barat mengalami desakralisasi pengetahuan—sebuah proses di mana realitas dipandang tanpa referensi pada prinsip transenden (Nasr, 1981, p. 15). Revolusi saintifik abad ke-17, menurut Nasr, memperkuat paradigma mekanistik Cartesian-Newtonian dan mempercepat sekularisasi ilmu. Dalam paradigma ini, alam tidak lagi dipahami sebagai teofani (manifestasi Ilahi), tetapi sebagai mesin yang dapat dianalisis, diprediksi, dan dikontrol.
Konsekuensi aksiologisnya mendalam:
1. Hilangnya orientasi teleologis — sains modern tidak lagi diarahkan pada kebijaksanaan (sophia), tetapi pada akumulasi informasi dan kekuasaan teknologis.
2. Fragmentasi pengetahuan — filsafat, teologi, dan sains tercerai dari prinsip-prinsip metafisik yang dahulu memberikan kesatuan dan makna.
3. Nihilisme nilai — dengan klaim “bebas nilai” (value-free science), sains kehilangan kemampuan memberi arah etis bagi penggunaan hasilnya (Nasr, 1993, p. 27).
Pengetahuan Sakral sebagai Alternatif Aksiologis
Sebagai respons terhadap krisis tersebut, Nasr mengajukan konsep scientia sacra atau “pengetahuan sakral”—pengetahuan yang mengintegrasikan dimensi intelektual dan spiritual, rasional dan intuitif, empiris dan metafisik.
1. Hierarki pengetahuan dan realitas. Nasr (1981, p. 78) menegaskan bahwa realitas bersifat hierarkis, dari yang material menuju yang spiritual. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang lebih tinggi memiliki nilai lebih karena lebih dekat kepada Kebenaran absolut. Sains empiris tidak ditolak, tetapi ditempatkan pada posisinya yang wajar sebagai pengetahuan tentang tingkat realitas terendah, yang perlu diintegrasikan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual yang lebih tinggi.
2. Transformasi eksistensial. Dalam berbagai tradisi spiritual yang dikaji Nasr—Sufisme, Vedānta, dan Kabbalah—pengetahuan sejati (ma‘rifah, jñāna, gnosis) tidak sekadar akumulasi informasi, tetapi realisasi eksistensial yang mengubah subjek pengetahu (Nasr, 1968, p. 112).
3. Kesatuan subjek–objek. Nasr mengkritik dualisme Cartesian yang memisahkan res cogitans dari res extensa. Pengetahuan sakral bersifat partisipatif: subjek dan objek pengetahuan saling terkait dalam tatanan kosmik yang sama. Pengetahuan adalah bentuk penyatuan, bukan dominasi.
Bersambung...

