Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Aksiologi Filsafat Sains Seyyed Hossein Nasr: Memulihkan Kesucian Pengetahuan (3)

0 Pendapat 00.0 / 5

Kritik dan Relevansi Kontemporer 

Beberapa peneliti menilai bahwa Nasr terlalu nostalgik terhadap masa pra-modern dan kurang memberikan kerangka praktis untuk reformasi sains (Smith, 2008; Aminrazavi, 2013). Namun, relevansinya semakin kuat di era krisis ekologis, AI, dan bioteknologi—krisis yang menegaskan betapa pertanyaan tentang nilai pengetahuan tak bisa dihindari lagi. 

Nasr menawarkan visi alternatif: sains yang terintegrasi dengan kebijaksanaan, teknologi yang dibatasi oleh etika kosmik, dan pengetahuan yang diarahkan bukan untuk kekuasaan, tetapi untuk transformasi spiritual. Bukan penolakan terhadap sains modern, melainkan panggilan untuk mengembalikannya ke konteks metafisik dan spiritual yang lebih luas. 

Gema Nasr dalam Aksiologi Filsafat Sains 

Dalam jagat filsafat sains modern, nama Seyyed Hossein Nasr menandai sebuah titik balik yang menentang arus utama positivisme dan sekularisme epistemologis. Dalam karya monumentalnya Knowledge and the Sacred (1981), Nasr menegaskan bahwa krisis dunia modern bukanlah krisis teknologi atau metodologi, melainkan krisis spiritual pengetahuan—hilangnya dimensi sakral dalam sains. Ia menulis, “The sacred science sees the cosmos as symbol, as theophany, as the mirror reflecting the Divine Reality.” Dengan demikian, bagi Nasr, aksiologi sains tidak dapat dipisahkan dari metafisika dan teologi; kebenaran ilmiah hanyalah cabang dari hikmah ilahiyah. 

Namun gema pemikiran Nasr ini tidak berdiri sendiri. Di berbagai tradisi agama dunia, kita menemukan resonansi yang mendalam antara pandangan Nasr dan gagasan para pemikir besar yang, meskipun berangkat dari horizon religius yang berbeda, sama-sama mengupayakan pemulihan nilai-nilai sakral dalam pengetahuan manusia. Di antara mereka, lima tokoh menonjol: Frithjof Schuon, Martin Buber, Thomas Merton, Sri Aurobindo, dan Daisetz Teitaro Suzuki. 

Sebagai guru intelektual Nasr, Frithjof Schuon meletakkan dasar bagi Sophia Perennis—kebijaksanaan abadi yang melampaui batas agama formal. Dalam The Transcendent Unity of Religions, Schuon menyatakan bahwa seluruh agama merupakan ekspresi simbolik dari satu Realitas Transenden yang sama. Pandangan ini menjadi fondasi aksiologi Nasr: sains sejati harus berakar pada pengakuan akan Yang Satu di balik keragaman fenomena. 
Schuon menolak relativisme modern yang memisahkan fakta dari nilai, sama seperti Nasr menolak “sains tanpa Tuhan.” Dalam perspektif ini, pengetahuan adalah bentuk ibadah; mencari kebenaran ilmiah adalah jalan menuju pengenalan Ilahi. 

Dari horizon Yudaisme, Martin Buber menghadirkan resonansi lain terhadap “pengetahuan sakral.” Dalam Ich und Du, ia menegaskan bahwa hubungan manusia dengan dunia dan Tuhan bukanlah relasi subjek-objek, melainkan perjumpaan eksistensial antara Aku dan Engkau. 
Bagi Nasr, sains modern telah mengubah dunia menjadi “itu” — benda yang diukur dan dieksploitasi — bukan “Engkau” yang disapa dengan hormat. Aksiologi sains sakral ala Nasr memulihkan dunia sebagai ayat (tanda), bukan sekadar data. Seperti Buber, Nasr menyerukan pemulihan relasi personal dan dialogis antara manusia dan kosmos, sehingga ilmu kembali menjadi jalan menuju penyingkapan Wajah Tuhan di segala hal. 

Dalam tradisi Kristen, Thomas Merton mewakili semangat yang sejalan dengan Nasr. Sebagai biarawan Trappist yang memadukan mistisisme Kristiani dengan kebijaksanaan Timur, Merton memandang modernitas sebagai peradaban yang kehilangan pusat spiritual. Dalam New Seeds of Contemplation, ia menulis bahwa “science without contemplation becomes manipulation.” 
Pandangan ini selaras dengan Nasr yang menegaskan perlunya ‘ilm al-ḥuḍūrī — pengetahuan melalui kehadiran batin — yang melengkapi ‘ilm al-ḥuṣūlī (pengetahuan rasional). Merton dan Nasr sama-sama mengingatkan bahwa tanpa kontemplasi, ilmu menjadi kekuasaan tanpa kebijaksanaan. 

Sementara itu, dari India, Sri Aurobindo berbicara tentang evolusi kosmis menuju Supramental Consciousness, kesadaran Ilahi yang mewujud di dunia. Dalam The Life Divine, ia menggambarkan realitas sebagai proses penyingkapan Brahman di alam. 
Nasr mengakui bahwa dunia adalah teofani (tajallī) dari al-Ḥaqq. Meskipun Aurobindo lebih optimistik terhadap potensi spiritualisasi modernitas, keduanya berbagi pandangan bahwa ilmu dan teknologi hanya bermakna bila diorientasikan menuju penyadaran Ilahi. Aksiologi sains bagi Aurobindo maupun Nasr bukanlah “efisiensi,” melainkan “transformasi batin umat manusia.” 

Dari Timur Jauh, Daisetz Teitaro Suzuki memperkenalkan Zen sebagai jalan pencerahan non-dual. Dalam Essays in Zen Buddhism, ia menolak dikotomi antara subjek dan objek, rasional dan intuitif, dunia dan nirwana. 
Nasr melihat paralel langsung antara pandangan non-dual Zen dan konsep tawḥīd dalam Islam: semua yang ada adalah manifestasi dari Yang Satu. Di sini, aksiologi sains berpuncak pada kesadaran bahwa “pengamat dan yang diamati” bukanlah dua entitas terpisah, melainkan dua wajah dari realitas tunggal. Ilmu sejati lahir dari kesadaran yang menyatu dengan obyeknya—suatu kesadaran yang sakral. 

Kelima tokoh tersebut, meski berasal dari lima agama yang berbeda, beresonansi dalam satu nada: pemulihan makna sakral pengetahuan. Mereka menolak reduksi sains menjadi sekadar alat kekuasaan dan produksi; mereka menegaskan bahwa ilmu sejati adalah bagian dari spiritual quest. 

Nasr menyebutnya sebagai “the resacralization of knowledge.” Schuon menamainya Sophia Perennis; Buber menyebutnya dialog I–Thou; Merton menyebutnya contemplation; Aurobindo menyebutnya Supramental evolution; Suzuki menyebutnya Satori. Namun hakikatnya satu: pengetahuan yang mengembalikan manusia kepada Yang Maha Mengetahui. 

Penutup: Menuju Aksiologi Sakral 

Aksiologi filsafat sains yang diilhami oleh Nasr dan para tokoh sejajar ini menolak dikotomi antara “fakta” dan “nilai,” “ilmiah” dan “spiritual.” Dalam kerangka Knowledge and the Sacred, sains tidak lagi menjadi proyek dominasi, melainkan zikir intelektual—sebuah perjalanan menuju pengenalan diri dan Tuhan. 

Dengan demikian, gema Nasr dalam aksiologi filsafat sains bukan sekadar panggilan untuk etika ilmiah, melainkan untuk metafisika pengetahuan yang melihat segala ilmu sebagai cermin dari Realitas Ilahi. Ketika sains kembali menemukan sakralitasnya, ia bukan lagi ancaman bagi dunia, melainkan jembatan menuju kebijaksanaan semesta. 

Aksiologi filsafat sains Seyyed Hossein Nasr mengajarkan bahwa nilai tertinggi pengetahuan tidak terletak pada kemampuan teknologisnya, melainkan pada daya transformatifnya untuk menghubungkan manusia dengan Yang Sakral. Dalam dunia yang terobsesi pada data dan kontrol, Nasr mengingatkan bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang sakral—pengetahuan yang tidak hanya menjelaskan bagaimana dunia bekerja, tetapi juga mengapa ia ada, dan untuk apa manusia hidup di dalamnya. 

Proyek intelektual Nasr adalah upaya memulihkan kesatuan antara pengetahuan dan nilai, antara sains dan kebijaksanaan—sebuah integrasi yang hilang dalam peradaban modern tetapi tetap hidup dalam scientia sacra tradisi-tradisi spiritual dunia. 

Daftar Pustaka 

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Allen & Unwin. 

Nasr, S. H. (1981/1989). Knowledge and the Sacred (Gifford Lectures). Edinburgh: Edinburgh University Press. 

Nasr, S. H. (1989). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford University Press. 

Nasr, S. H. (1993). The Need for a Sacred Science. Albany: State University of New York Press. 

Nasr, S. H. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford University Press. 

Aminrazavi, M. (2013). The Philosophy of Seyyed Hossein Nasr. In M. Aminrazavi (Ed.), Islamic Philosophy and Occidental Phenomenology in Dialogue (pp. 145–168). Springer. 

Chittick, W. C. (2001). Science of the Cosmos, Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the Modern World. Oxford: Oneworld. 

Smith, H. (2008). “Seyyed Hossein Nasr’s Traditionalism and the Crisis of Modern Science.” The Muslim World, 98(1), 1–23. 

Taliaferro, C., & Evans, E. (2011). The Routledge Companion to Theism. London: Routledge. (Bab tentang “Nasr and the Sacred in Science”). 

Ziai, H. (1996). Philosophy, Theology and Spirituality in Nasr’s Work. Islamic Studies, 35(3), 289–307.