Ujian atau Peringatan? Menafsir Musibah dari Jejak Tangan Kita Sendiri (1)
Kita sering menyebut banjir, longsor, kekeringan, atau kabut asap sebagai bencana alam, seolah-olah alam adalah pelaku tunggal yang patut dipersalahkan. Kita menamainya demikian karena istilah itu terdengar aman, netral, dan nyaman. Ia memungkinkan kita untuk menyingkir dari cermin, dari kemungkinan bahwa ada kesalahan yang sebenarnya sedang kita lakukan.
Al-Qur’an sejak lama telah memberi peringatan yang sekarang terasa semakin nyata. “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia,” demikian bunyi ayat itu (Qur’an 30:41). Tidak ada kalimat yang lebih terang dan lebih jujur dari ini. Kerusakan bukanlah fenomena kosmik abstrak yang turun begitu saja dari langit. Ia adalah gema dari perbuatan manusia yang ditekan, dipupuk, dan diwariskan.
Anehnya, kita membaca ayat ini ratusan kali, tapi sangat jarang menghubungkannya dengan banjir di kampung sendiri, dengan hutan yang hilang, atau dengan sungai yang berubah warna. Kita mengira ayat itu bicara tentang bangsa-bangsa purba atau umat-umat yang telah punah, padahal ia sedang bicara tentang kita—umat yang bangga menyebut diri modern, namun rapuh dalam menjaga amanah bumi.
Dalam ayat lain, Allah mengingatkan bahwa “Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah akibat dari apa yang kalian perbuat.” (Qur’an 42:30). Ayat ini bukan untuk menyalahkan para korban, sebagaimana sering disalahpahami, melainkan untuk membongkar struktur sosial yang melahirkan bencana. Musibah tidak selalu merupakan “hukuman”, tetapi sering kali “konsekuensi”. Ada jarak yang jauh antara dua kata itu: hukuman mengandaikan Allah menghantam manusia, sedangkan konsekuensi menunjukkan bahwa manusia sendiri sedang memanen apa yang ia tanam.
Ahlulbait as telah jauh hari mengingatkan. Imam Ali as pernah berkata bahwa dosa-dosa sosial—kezaliman, korupsi, merampas hak orang lain, menghancurkan keseimbangan hidup—menjadi penyebab turunnya musibah yang mengguncang masyarakat. Dalam Nahj al-Balaghah beliau menegaskan bahwa bumi memiliki hubungan spiritual dengan amal manusia: ketika manusia berbuat adil, bumi memberi berkah; ketika mereka menindas, bumi memalingkan wajahnya.
Imam Ja’far ash-Shadiq as juga menyampaikan sabda yang terkenal:
“Tidaklah satu musibah menimpa manusia kecuali karena dosa-dosa mereka; dan apa yang Allah maafkan lebih banyak daripada yang ditimpakan kepada mereka.”
Ini bukan vonis pada setiap korban bencana. Ini adalah peringatan sosial: struktur dosa kolektif menciptakan suasana di mana alam kehilangan keseimbangannya. Bukan individu yang dihukum, melainkan masyarakat yang sedang memanen akibat ketidakadilan sistemik yang diabaikan.
Di era kontemporer, para ulama Syiah melanjutkan perspektif ini dalam konteks modern. Ayatullah Murtadha Muthahhari menulis bahwa manusia modern sering menciptakan bentuk taghut ekologis—kekuatan destruktif yang tidak lagi terlihat dalam bentuk berhala fisik, tetapi dalam sistem ekonomi yang menggerogoti bumi. Sementara Ayatullah Sayyid Muhammad Husain Fadlullah menekankan bahwa kerusakan lingkungan adalah masalah moral-politik, bukan sekadar teknis: keserakahan kapital, lemahnya aturan, dan hilangnya etika tanggung jawab kepada generasi masa depan.
Dan di sinilah tragedinya: bumi yang merintih kini bukan hanya korban ketidaksengajaan manusia, tetapi korban kerakusan oligarki.
Bersambung...

