Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ujian atau Peringatan? Menafsir Musibah dari Jejak Tangan Kita Sendiri (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Di banyak negeri, termasuk negeri-negeri Muslim, sumber daya alam berubah menjadi medan pertarungan antara rakyat kecil yang ingin hidup dan kelompok berkuasa yang ingin menumpuk keuntungan. Hutan yang seharusnya menjadi penopang kehidupan ditebang habis demi proyek tambang atau perkebunan raksasa. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini penuh limbah industri. Gunung-gunung yang sakral bagi penduduk lokal dikeruk sampai ke tulang.

Kerusakan ekologis bukan lagi sekadar akibat aktivitas acak manusia. Ia menjadi terstruktur, dilembagakan, dibuat sah secara hukum oleh regulasi yang lemah atau sengaja dilemahkan.

Dalam banyak kasus, pemerintah tidak absen karena tidak mampu, tetapi karena memilih diam di hadapan kekuatan modal yang luar biasa. Regulasi dibuat dengan bahasa indah tetapi longgar, pengawasan dipasang seadanya, izin dikucurkan tanpa kontrol ketat, dan ketika bencana datang—banjir bandang, longsor, kekeringan—yang dituding tetaplah “alam”.

Padahal masyarakat tahu siapa yang menebang hutan, siapa yang menambang bukit, siapa yang membendung sungai, siapa yang meracuni danau.

Al-Qur’an kembali menegur:

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. A’raf: 56)

Banyak ulama Syiah menafsirkan ayat ini sebagai prinsip eco-ethics dalam Islam: menjaga keseimbangan bumi adalah bagian dari tauhid sosial, sebab merusak ciptaan adalah bentuk pembangkangan halus terhadap Sang Pencipta.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam beberapa khutbah menegaskan bahwa tanggung jawab lingkungan bukan sekadar isu ilmiah, tetapi kewajiban agama. Ia menyebut “keserakahan ekonomi yang membutakan manusia terhadap masa depan” sebagai salah satu penyebab terbesar bencana manusia modern. Ayatullah Jawadi Amuli bahkan menyatakan bahwa alam adalah cermin moral manusia, dan ketika manusia kehilangan keadilan, alam kehilangan stabilitasnya.

Dalam perspektif itu, bencana ekologis bukan hanya tragedi fisik—melainkan juga tragedi spiritual. Ia menunjukkan bagaimana manusia telah gagal menjadi khalifah Allah di bumi.

Namun narasi ini bukan untuk membuat kita putus asa atau menuding tanpa arah. Sebaliknya, ia memanggil kita untuk kembali: agar mereka kembali, kata ayat tersebut. Kembali pada amanat suci bahwa bumi bukan milik siapa pun, bukan warisan untuk dikeruk semaunya, tetapi titipan yang harus kita serahkan pada generasi berikutnya dalam keadaan layak hidup.

Di tengah kesedihan itu, ada harapan yang selalu diajarkan Ahlulbait. Imam Ali Zainal Abidin as. dalam Doa Makarimul Akhlaq memohon agar Allah menjadikan manusia “penjaga kebaikan di bumi”. Doa ini sangat relevan hari ini, ketika kita membutuhkan bukan hanya kesadaran pribadi, tetapi keberanian kolektif untuk melawan kerakusan yang mengikis masa depan.

Kita perlu suara-suara yang memaksa pemerintah memperkuat regulasi. Kita memerlukan masyarakat yang menolak normalisasi kerusakan. Kita memerlukan ulama, cendekiawan, aktivis, dan jurnalis yang terus menyuarakan bahwa bencana ekologis bukan takdir, melainkan akibat dari pilihan-pilihan yang salah. Kita memerlukan spiritualitas yang mendorong perlawanan terhadap oligarki yang menyembunyikan kejahatannya di balik kata “pembangunan”.

Dan pada akhirnya, kita perlu kembali memandang bumi dengan mata seorang mukmin: sebagai amanah yang kelak akan dipertanyakan.

Bencana tidak selalu berarti hukuman. Tetapi bencana bisa menjadi peringatan, peringatan bahwa kita telah jauh dari amanat Ilahi. Bahwa ada sesuatu yang salah dalam cara kita berkuasa, cara kita berproduksi, cara kita membangun, cara kita memaknai kemajuan.