Sayyidah Fatimah az-Zahra: Simbol Kehormatan, Amanat Ilahi, dan Keteguhan Perempuan dalam Islam (1)
Peringatan syahadah Sayyidah Fatimah az-Zahra bukan sekadar momentum duka, tetapi kesempatan untuk menegaskan kembali nilai-nilai spiritual dan moral yang lahir dari sosok perempuan suci ini. Fatimah bukan hanya putri Nabi, bukan sekadar istri Imam Ali, bukan pula sekadar ibu dari Hasan dan Husain. Ia adalah figur yang menghidupkan ruh Islam dalam bentuk paling murni—ketakwaan, keberanian moral, kecerdasan spiritual, dan keteguhan menjaga kehormatan diri dan umat.
Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Fatimah adalah “penggalan jiwa Rasulullah.” Penghormatan yang diberikan Nabi kepadanya bukanlah karena hubungan darah semata, melainkan karena kesempurnaan iman dan akhlaknya. Ketika kita memperingati wafatnya Sayyidah Fatimah, sejatinya kita sedang memperingati nilai-nilai Islam yang paling mendasar: keadilan, kesucian, dan perlawanan terhadap kezaliman.
Seluruh agama samawi menekankan pentingnya menjaga kehormatan perempuan, namun Islam memberikan perhatian yang sangat kuat terhadap nilai ini. Perempuan tidak dihilangkan dari peran publik, tetapi dituntun untuk menjaga keseimbangan antara kesucian diri dan kontribusi sosial. Sayyidah Fatimah adalah figur yang mampu menggabungkan keduanya: ia menjaga kehormatannya secara sempurna, namun juga tampil di ruang publik ketika kebenaran ditindas.
Khutbah Fadak yang ia sampaikan di hadapan para sahabat merupakan gambaran nyata keberanian perempuan salehah ketika prinsip kebenaran dipertaruhkan. Bahkan, pemakaman Fatimah yang berlangsung secara rahasia menunjukkan bahwa beliau tetap menjadi simbol perlawanan yang tidak dapat dibungkam sejarah.
Konsep ummatan wasathan mengajarkan keseimbangan. Dalam konteks perempuan, keseimbangan ini tampak pada kemampuan untuk menjaga kehormatan diri, mengabdi kepada keluarga, sekaligus tampil gagah di saat kebenaran harus ditegakkan. Perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Fatimah, dan Sayyidah Zainab menunjukkan bahwa kesucian bukan penghalang keberanian, dan peran domestik bukan penghalang kontribusi publik.
Peran seorang ibu dalam membangun generasi tidak pernah dapat diremehkan. Masyarakat yang kuat tidak lahir dari sekolah pertama kali, tetapi dari pendidikan dalam rumah—dari rahim kesalehan seorang ibu.
Bersambung...

