Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sayyidah Fatimah az-Zahra: Simbol Kehormatan, Amanat Ilahi, dan Keteguhan Perempuan dalam Islam (2)

0 Pendapat 00.0 / 5

Empat Indikator Spiritual dalam Rumah Tangga Nabi

Dalam hubungan-suci keluarga Nabi, terdapat empat indikator penting yang menjadi pelajaran bagi seluruh umat.

Pertama, akhlak yang baik dan keimanan yang kuat. Akhlak mulia adalah fondasi setiap hubungan yang diberkahi, sementara keimanan yang kokoh menjaga kemurnian niat dan keteguhan hati. Ketika akhlak dan iman hadir pada dua insan, seperti pada Rasulullah dan Sayyidah Khadijah, hubungan itu memancarkan kekuatan, ketenangan, dan keberkahan.

Kedua, rasa saling percaya. Kepercayaan ini bukan sekadar rasa aman secara emosional, tetapi keyakinan mendalam bahwa masing-masing menjaga dan memahami satu sama lain dalam segala kondisi. Kepercayaan seperti ini membuat Rasulullah dan Khadijah mampu menghadapi tekanan dakwah, penolakan Quraisy, dan derita panjang perjuangan tanpa goyah.

Ketiga, kesatuan tujuan ilahi. Ketika dua manusia bergerak menuju tujuan yang sama—tujuan yang terhubung kepada Allah—maka harapan atau ambisi pribadi yang dapat menghalangi misi suci akan tersingkir dengan sendirinya. Dengan kesatuan tujuan ini, mereka melangkah seiring untuk meraih keridaan Allah.

Keempat, istri sebagai amanat ilahi. Istri bukan sekadar pendamping, tetapi amanat yang Allah titipkan kepada suami. Dengan pemahaman ini, suami menjaga, menghormati, dan memperlakukan istrinya dengan adil dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, istri melihat dirinya sebagai penjaga amanah Ilahi sehingga tercipta hubungan yang harmonis dan penuh berkah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanat kepada pemiliknya.” (QS. An-Nisā’: 58). Ayat ini menegaskan bahwa amanat, termasuk amanat keluarga, adalah tanggung jawab suci yang tidak boleh diabaikan.

Kemuliaan hubungan Imam Ali dan Sayyidah Fatimah tidak bisa dipahami tanpa melihat tiga peristiwa besar yang menegaskan dimensi amanat ilahi dalam pernikahan mereka.

Pertama, pada malam pernikahan, Rasulullah SAW memegang tangan Fatimah dan meletakkannya di tangan Ali sambil bersabda bahwa Fatimah adalah amanah dari dirinya, penggalan jiwanya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan adalah amanat, bukan hanya ikatan sosial.

Kedua, menjelang wafatnya, Rasulullah kembali menegaskan amanat tersebut. Ia menyatukan tangan Ali dan Fatimah di atas dadanya dan bersabda, “Ali, Fatimah adalah amanat Allah kepadamu.” Ini bukan sekadar pesan keluarga, melainkan deklarasi spiritual tentang kedudukan Fatimah dan tanggung jawab Ali.

Ketiga, ketika Fatimah wafat, amanat itu kembali kepada Rasulullah. Dalam suasana duka, seolah Imam Ali berkata, “Wahai Rasulullah, engkau menitipkannya kepadaku dalam keadaan mulia tanpa luka. Namun kini aku mengembalikan amanat itu dengan wajah lebam dan tulang rusuk patah, karena ia dizalimi sementara aku tidak mampu membelanya.” Momen ini merangkum tragedi moral pasca-wafat Nabi yang meninggalkan luka mendalam dalam sejarah umat.

Sepanjang hidupnya, Fatimah menunjukkan bagaimana perempuan dapat menjadi teladan kesabaran, kecerdasan, dan keadilan. Ia menangis bukan hanya karena luka pada tubuhnya, tetapi karena luka pada ajaran dan umat. Ia berdiri sebagai benteng terakhir Risalah, dan dari keteguhannya lahir kekuatan yang diwarisi Sayyidah Zainab di Karbala dan seluruh perempuan yang memilih jalan kebenaran.

Peringatan syahadah Sayyidah Fatimah az-Zahra mengingatkan bahwa perempuan bukan objek sejarah, melainkan poros peradaban. Dengan memahami Fatimah, kita memahami inti Islam: bahwa menjaga kehormatan perempuan adalah menjaga cahaya umat, dan bahwa amanat keluarga adalah amanat ilahi yang harus dijalankan dengan penuh integritas.