Kebahagiaan (1)
Istilah kebahagiaan (sa‘ādah) dalam khazanah keilmuan Islam sering dipahami sebagai “keberuntungan” atau “keberhasilan”. Para ulama mendefinisikannya sebagai tercapainya kesempurnaan yang mungkin diraih oleh manusia, sesuai dengan potensi dan kelayakan yang dimilikinya. Dengan demikian, kebahagiaan dapat dimaknai sebagai pemanfaatan yang benar, sehat, dan sah terhadap berbagai potensi material maupun spiritual yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Al-Qur’an memberikan landasan teologis atas pemahaman ini melalui firman-Nya:
وَ نَفْسٍ وَ ما سَوَّاها فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَ تَقْواها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها وَ قَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها
“Demi jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7–10)
Ayat ini menegaskan bahwa kebahagiaan manusia sangat terkait dengan proses penyucian jiwa. Istilah keberuntungan (falah) yang digunakan Al-Qur’an menunjuk pada keberhasilan dan keselamatan jiwa, yang sekaligus merupakan bentuk kebahagiaan. Dari sisi keselamatan, kebahagiaan bermakna pembebasan dari kesulitan; dari sisi pencapaian, ia disebut ‘fauz‘; sedangkan dari sisi tujuan akhir, ia dikenal sebagai kebahagiaan sejati.
Jika ditinjau dari perspektif filsafat penciptaan, tujuan eksistensi manusia adalah mencapai kesempurnaan insani. Manusia, secara fitrah, merupakan makhluk pencari kesempurnaan sekaligus pencari kebahagiaan. Karenanya, setiap manusia terdorong untuk mencari kebahagiaan, meskipun jalan yang ditempuh berbeda-beda. Sebagian menempatkan kebahagiaan pada kenikmatan lahiriah, sementara sebagian lain melihat kebahagiaan pada kenikmatan batiniah. Ibn Sina, misalnya, menafsirkan kebahagiaan sebagai aktualisasi potensi manusia secara harmonis dan seimbang sehingga mengantarkan pada kesempurnaan insani.
Bersambung...

