Kebahagiaan (2)
Para ulama juga membedakan antara kebahagiaan (sa‘ādah) dan kesengsaraan (syaqāwah). Baik ruh maupun jasad memiliki bentuk kebahagiaan dan kesengsaraannya masing-masing. Namun, karena manusia terdiri dari tubuh yang fana dan jiwa yang abadi, maka hakikat kebahagiaan sejati sesungguhnya terletak pada jiwa. Ilmu, ketakwaan, dan sejenisnya termasuk ke dalam kebahagiaan ruhani. Adapun nikmat duniawi seperti harta dan anak juga bisa menjadi sarana kebahagiaan sejauh tidak melalaikan manusia dari Allah dan tidak menimbulkan keterikatan berlebihan pada dunia.
Dalam perspektif Islam, terdapat pula kebahagiaan yang bersifat paradoks: penderitaan jasmani yang justru melahirkan kebahagiaan ruhani. Contohnya adalah pengorbanan di jalan Allah atau infak harta di jalan kebaikan. Sebaliknya, kenikmatan jasmani yang tidak sah dan melalaikan justru merupakan bentuk kesengsaraan ruhani, meskipun tampak menyenangkan secara lahiriah. Kenikmatan semacam itu bahkan dipandang Al-Qur’an sebagai azab terselubung.
Dengan demikian, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir. Kehidupan sejati adalah kehidupan abadi di akhirat, yang kenikmatan dan penderitaannya bergantung pada amal manusia. Oleh karena itu, manusia diberikan kebebasan memilih antara kehidupan fana yang sementara atau kebahagiaan abadi yang kekal. Islam menempuh jalan tengah dengan menetapkan batasan luhur dalam pemanfaatan nikmat materi maupun spiritual, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraih secara bersamaan.
Kebahagiaan sejati, pada akhirnya, tidak terletak pada harta, kekayaan, maupun kekuasaan. Semua itu dapat mempermudah kehidupan, tetapi tidak menjamin ketenangan jiwa. Kebahagiaan hakiki adalah milik manusia dan masyarakat yang berhasil meraih ketenangan hati serta kedamaian batin melalui penyucian jiwa dan pengabdian kepada Allah.

